Kamis, 26 Mei 2011

Pada Pantai, di Negeri Matahari Terbit

Semua berantakan. Semua punah. Kini aku hanya bisa melihat puing-puing yang bertebaran. Di mana ibu, ayah, dan buah hatiku. Baru sekitar empat jam yang lalu aku meninggalkan tempat ini. Sekarang, aku tak tahu harus bertanya kepada siapa tentang keberadaan mereka. Bahkan setangkai sakura pun tak ada lagi yang tersisa untukku menitip pesan.
"Ibu…!"  
"Ayah…!"  
"Naomi…!"
"Dimana kalian…?" rintihku.

Kubalik satu demi satu mayat yang kutemukan. Tiada satu pun sosok yang kucari. Padahal, hampir  sepanjang bibir pantai Hiroshima sudah kutelusuri. Aku sudah lelah. Kakiku sudah tak sanggup lagi melangkah. Aku bersandar pada tumpukan reruntuhan yang ditinggalkan tsunami sambil memeluk titipan Naomi. Lama aku terdiam menahan air mata yang tak sabar ingin membaluti pipi.

Kupandangi lagi ratusan manusia yang bergelimpangan dari tempatku terduduk. Akan tetapi, tak jua kutemukan sosok mereka. Air mata menghalangi penglihatanku dan tak lama setelah itu mataku terkatup. Aku terkejut. Terlihat olehku sesosok gadis kecil nun jauh di sana.  Ia berputar-putar di antara orang-orang yang menangis iba. Sepertinya dia tidak tahu harus menuju arah mana. Aku berdiri dan berlari ke arahnya.

"Naomi…!" teriakku sambil berlari ke arah gadis kecil itu.
Dia pun tak mau ketinggalan. Ia berlari ke arahku sambil menangis. wajahnya tegang dan sangat pucat. Terlihat rasa takut yang sangat di balik raut lucu wajahnya, juga rambut ikat dua yang menindih bahunya. Kudekap erat tubuhnya dalam lingkaran tanganku. Seketika aku tersentak. Ternyata aku bermimpi bertemu Naomi, anakku. Sebenarnya mustahil ibu, ayah, dan anakku, Naomi masih hidup, menurutku. Tapi aku tetap pada keyakinanku. Mereka harus masih hidup, tak bisa tidak.

Perlahan gelap menyelimuti Negeri Matahari Terbit.  Aku berjalan gontai tanpa tujuan. Ke mana aku harus pergi sedang tempat tinggalku telah rata dengan tanah. Tak mungkin aku bisa hidup hanya bertemankan boneka titipan Naomi ini. Seketika pandanganku kabur. Dan aku tak tahu karena tiba-tiba saja gelap bersarang.
Ayah, belikan Naomi boneka babi merah muda, ya…!  
***
"Okada, kembalilah bersama Arumi. Jangan terlalu egois. Dia sudah berubah. Apa kalian tidak memikirkan bagaimana perasaan Naomi. Dia juga butuh kasih sayang seorang ibu. Bukankah Arumi sudah berulang kali meminta maaf padamu? Apa perhatiannya belum cukup  selama ini padamu dan Naomi? Ingat, Okada, Arumi menyayangimu."
"Benar, Okada." tambah ayah.

Ibu dan ayah sangat ingin aku kembali bersama Arumi. Aku belum bisa. Hatiku belum bisa memaafkan Arumi. Arumi telah mengkhianatiku. Peristiwa di Soul tahun lalu masih melekat di pikiranku. Ketika aku memergokinya bermain api bersama Izo, bosnya saat itu. Aku sengaja membuntuti mereka sampai ke Soul. Aku curiga dengan gelagat mereka. Arumi terbang ke Soul dengan alasan pekerjaan bersama Izo. Malam sebelum keberangkatan ke Soul, tak sengaja aku mendengar percakapan mereka. Izo menelepon Arumi dan membicarakan suatu tempat. Aku tak kesulitan menemukan mereka karena aku pernah tinggal di Kota Soul.

Ketika itu hatiku benar-benar hancur. Sampai akhirnya aku membawa Naomi yang saat itu berumur dua setengah tahun dan mengajaknya untuk tinggal di rumah orangtuaku. Sejak saat itu, aku tak pernah lagi menghiraukan Arumi. Tetapi ia malah semakin mendekat. Katanya ia menyesal dan  meminta maaf atas semua kesalahannya. Dan ia juga berjanji tak akan mengkhianatiku lagi. Buatku, itu tak cukup. Kurasa aku tak akan pernah bisa memaafkannya. Aku merasa jijik setiap kali melihat dirinya. Tetapi, entah mengapa ada semacam rasa yang membuat aku ragu untuk membencinya, lebih-lebih ketika aku mendengar rengekan manja Naomi meminta bertemu ibunya.

"Okada, bawalah Naomi bertemu ibunya!" sambung ibu setiap kali Naomi merengek.
"Aku ada urusan, ibu sajalah yang membawakannya."
"Ayah mau pergi kemana?" suara manja Naomi menanyaiku.
"Ayah mau kerja, sayang…," kecupan pun langsung mendarat di pipi lembutnya.
"Hati-hati ayah, cepat pulang…! Jangan lupa belikan Naomi boneka babi merah muda, ya…!"
"Iya, sayang. Pasti nanti ayah belikan."
******
"Kero, menurutmu apa yang harus kulakukan." tanyaku pada Kero di sela-sela makan siang.
"Kau harus bersikap dewasa, Okada. Kau sudah memiliki anak. Bukannya Arumi sudah menyesali semua perbuatannya. Sekarang jawab jujur, apakah kau masih mencintai Arumi?"
Lama aku terdiam karena pertanyaan Kero. Aku tak tahu harus menjawab apa. Sejujurnya, aku masih sayang pada Arumi, mantan istriku. Hanya saja bayang-bayang luka itu masih saja menggeluti arena hidupku, tetapi, ketika aku meihat wajah Naomi aku merasa bersalah karena telah menjauhkannya dari Arumi.
"Sudahlah, Okada. Belajarlah memaafkan Arumi. Bersatulah seperti dulu. Beri kelengkapan pada anak kalian. Mantapkan niatmu!" tungkas Kero.
"Terima kasih, Kero. Aku akan coba," jawabku sambil tertunduk.
"Kutunggu kabar gembira darimu. Kau teman terbaikku. Aku sangat mengenalmu." sambil berdiri dari tempat duduknya ingin meninggalkanku.
Beberapa langkah ia berjalan, ia berbalik dan berbisik ke telingaku, "Arumi semakin cantik, jangan sampai ia jatuh ke pelukan orang lain. Sudah lama kan…, Hahahaha," ejeknya. Aku hanya membalas dengan acungan tinju. Kero pergi sambil menertawaiku.
"O ya, makanannya enak, kapan-kapan ajak Arumi ke sini," teriaknya dari arah pintu. Aku tak menggubris karena dia terus menertawakanku.
"Benar apa yang dikatakan Ibu, Ayah, dan Kero. Aku tidak boleh egois. Aku harus bisa memaafkan Arumi," desisku.
Aku merasakan aroma wangi bunga sakura di ujung sana. Rasanya, aku ingin cepat-cepat pulang dan membawa anakku menyaksikan drama romantis antara ibu dan ayahnya. Tak lupa kucarikan boneka babi pesanan Naomi, dan cincin berlian untuk Arumi. Aku harus memperbaiki kehidupanku. Keluargaku harus utuh kembali seperti dulu.
Kuinjak pedal gas dalam-dalam hingga mobilku terasa terangkat. Alunan suara merdu Christian Bautisata menambah keromantisan suasana hati. Lagu Beautiful Girl menjadi teman setiaku menikmati perjalanan. Tiba-tiba kurasakan goncangan dahsyat. Spontan aku berhenti dan keluar dari mobil.
Aku berdiri di pinggir jalan bersama pengendara lainnya. Semua panik. Aku ikut menyaksikan gedung-gedung tinggi yangh seakan roboh mencium tanah. Dan kudengar orang-orang menyebut-nyebut kata tsunami. Aku sangat panik. Cepat-cepat kuraih telepon genggam dari saku. Tak sempat aku menelepon,  dering panggilan telah bergetar di tanganku, "Ada apa, Arumi?" tanyaku.
Perempuan itu tak menjawab. Hanya suara tangis yang terdengar mengiba dari balik kotak persegi kecilku. Tangisan Arumi membuatku semakin tak terkendali.
"Arumi, apa yang terjadi, ha?" bentakanku meresap ke dalam penangkap suara handphone.
"Rumah. Dihantam. Tsunami. Beberapa. Menit lalu..."
Aku  tak dapat berbicara sepatah pun. Seketika aku terduduk di atas aspal. Kurasakan hujaman-hujaman tepat di dadaku. Napasku tersengal. Sulit kubayangkan. Sungguh. Aku seperti berada dalam buaian mimpi. Ya, aku pasti bermimpi.
Ayah, belikan Naomi boneka babi merah muda, ya…!
Aku berlari mendekati mobil. Saat ini pedal gas tak lepas lagi. Beberapa kali aku nyaris menabrak. Dari kejauhan kulihat semua telah rata dengan tanah. Hanya gundukan puing-puing yang dapat terlihat olehku.
********
Ayah, belikan Naomi boneka babi merah muda, ya…!
"Naomi…!" teriakku.
"Bapak sudah sadar?" ucap seorang laki-laki berkacamata padaku. Aku hanya diam. Sementara di sampingku kulihat Arumi menangis sambil memeluk boneka babi merah muda. Lalu dia berdiri dan memelukku. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibir kami. Hanya derai air mata dan pelukan dari tsunami yang masih tersisa.
Aku hanya dapat memandangi laut dari pantai Hiroshima, Negeri Matahari Terbit ini. Sambil kutatap jauh ke laut lepas. Dan suatu hari nanti angin akan datang dari arah seberang laut sana membawa sepucuk pesan, untukku, "Ayah, aku tidak bermain boneka babi lagi."
"Oh, anakku sudah dewasa rupanya."
( Sketsa KONTAN, 14 Maret 2011, Jepang dalam duka)
 BGaul Minggu, 10 Apr 2011 11:19 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar