Minggu, 19 Juni 2011

Kulambaikan Selendangmu pada Cahaya Purnama

(Harian Medan Bisnis, 19 Juni 2011)
Oleh: Rudiansyah Siregar


BGaul Minggu, 19 Jun 2011 10:44 WIB
Sudah setengah dasawarsa aku menunggunya di tengah hingar-bingar kota ini. Terkadang tersabur air mata atas rindu menahun yang menggantung di pelupuk mataku. Atas janji yang telah disepakati serta luka yang selalu kuukir di atas kesetiaannya dulu.
Sudah setengah dasawarsa aku menangis sambil berayun pada pohon mangga yang kami tanam di halaman rumahku - menjelang perantauannya ke tanah Sultan Thaha Syaifuddin. Sembari kuberdoa agar ia cepat kembali untuk memetik mangga ranum, yang kini tengah berbunga dengan lebatnya di pusara angin di pekarangan rumahku.

Setengah dasawarsa aku dan dia dipisahkan oleh jarak dan waktu. Selama itu pula terus kumemuja namanya di bawah purnama. Sambil kulambaikan selendang hijau darinya kearah cahaya purnama yang kian terang seiring dengan suara pungguk sesungguk yang merindukan, supaya ia, perempuan itu melihat tanda-tanda arah jalan untuk pulang dan melihat keberadaanku di sudut kota Patimpus ini.

Aku duduk termenung mendengar gemericik air, dan kau termenung di  tepian Sungai Batanghari. Aku terpukau menatap keindahan ornamen Istana Maimun, sedang kau masih terpana dan menatap dalam pada pahatan indah Candi Muarata cerita tentang kita, tentang rindu serta hasrat yang lama bersemayam di jiwa.

Demikianlah curahan hati yang kutulis dua hari yang lalu. Kemudian kata-kata itu kukirim lewat pesan singkat kepadanya. Setelah sekian lama aku mencari, baru kini kutemukan kabar keberadaannya dari teman SMP, teman akrabnya dulu. Bertahun aku menanti kepulangannya, namun tak jua urung tiba. Dia kekasihku. Aku memanggilnya Yumi, sama seperti panggilan ayah - ibunya padanya.

Dulu, lima tahun yang lalu telah terpahat kenangan di kota ini. Tentang dua anak manusia yang mengukir cinta lewat hati. Tanpa ada seluncur kata pun yang terucap dari balik bilabilal mereka. Hingga akhirnya mereka berpisah sebelum menuntaskan sepenuhnya hasrat dan isi hati yang telah berkapang dalam keraguan.

Jujur, sebenarnya aku sangat menyayanginya. Aku ingin mendekap erat tubuhnya. Tetapi aku masih terlalu muda, aku tak memiliki keberanian untuk mengungkapkan semuanya. Walau akhirnya aku berani, dan itu semua karena desakan keadaan. Ya, Yumi harus pindah ikut orang tuanya. Jauh. Kemungkinan besar tidak akan pernah kembali ke kota ini, kota tempatku menyemai rindu yang tak kunjung kutuai, menurutku.

***
"Yumi, sebenarnya aku suka sama Yumi." kuberanikan diri walau dengan iringan degup jantung yang bagaikan langkah kuda di medan perang.

Seketika aku merasa gelap karena rasa takutku. Ditambah lagi kediamannya yang membuat jantungku semakin enggan berhenti di tengah malam yang hening. Apalagi ketika aku melihat air mata telah memenuhi pipinya yang lembut. Aku seakan bisu. Bukan aku takut atau malu menghadapi wanita, sama sekali bukan. Ini hanya padanya saja. Entah kenapa, setiap melihatnya jantungku berdetak cepat. Jika akan berselisih di beranda sekolah, pasti aku selalu menghindar terlebih dahulu atau mencari jalan lain.

Tiba-tiba saja ia mendekapku. Erat. Bahkan sangat erat. Aku masih tak bisa menerka apa sebenarnya yang ada dalam benaknya.

"Mengapa kau baru katakan sekarang? Aku kecewa." desahnya sambil menangis di pelukanku.
Aku tak dapat menjawab sepatah kata pun. Aku juga menyesal. Tanpa kusadari aku telah menyianyiakan orang yang menyayangiku. Dan aku juga menyakitinya atas rasa ini. Malam itu, tepatnya di bangku parkiran sekolah, ada air mata kecewa yang terselubung dalam bahagia. Ada rasa yang tak lama lagi kan teraniaya.

***
Ini entah purnama keberapa sudah. Aku berdiri bermandikan sinar rembulan. Aku masih  terus memuja namanya di bawah purnama. Sambil kulambaikan selendang hijau darinya kearah cahaya purnama yang kian terang seiring dengan suara pungguk sesungguk yang merindukan, supaya ia, perempuan itu melihat aura rindu yang terpancar dari balik bulan yang bernaung di atas awan.

Aku masih sangat ingat, perjumpaanku yang berakhir di bawah purnama. Tepat pada bulan sebesar talam di atas ubun-ubun. Kemudian dia menghilang seiring berakhirnya purnama dan tidak pernah datang pada purnama setelahnya. Namun, tetap saja selendang darinya kulambaikan ke arah purnama. Menurut leluhurku, jika ada seseorang yang merantau dan lama tidak kembali, maka sebutlah namanya serta lambaikan barang miliknya yang ada padamu, seperti baju, selendang, atau yang lainnya ke arah cahaya purnama itu, tentunya dengan sedikit doa atau mantra, serta ijin dari Sang Pencipta.

"Dian, aku akan selalu mengingatmu. Sejauh mana pun aku pergi, aku akan tetap ada di sini, di hatimu. Aku ada di purnama itu." katanya sambil menunjuk purnama sempurna di atas kepala.
"Jika nanti kau rindu, datanglah padanya. Dan aku akan kembali saat purnama tiba." tambahnya sambil tersenyum.

Kata-kata itu selalu menjadi petunjuk dalam penantianku. Ketika itu aku spontan gembira, "Benar? Kau mau berjanji?"

Yumi hanya menjawab dengan senyuman. Tak tahu apa arti senyuman itu. Dan kini aku benar-benar menanti purnama itu. Sudah begitu banyak purnama yang lewat begitu saja, tanpa pernah ia tiba walau barang sekejap saja, atau  sekejap dalam mimpi. Namun janji tetaplah janji. Harus ditepati. Yumi adalah orang yang sangat memegang setiap ucapannya. Dan aku percaya itu.

***
Dian, aku akan selalu mengingatmu. Sejauh mana pun aku pergi, aku akan tetap ada di sini, di hatimu. Aku ada di purnama itu. Jika nanti kau rindu, datanglah padanya. Aku akan kembali saat purnama tiba.

Dan kini purnama telah bersarang di antara gumulan awan. Kulambaikan selendang itu seiring purnama yang tertawa riang. Nama perempuanku pun masih kusebut-sebut di bawah cahaya. Aku beradu bersama pungguk yang sesungguk memanggil purnama. Buatku tak ada kata lelah dalam penantian. Jika pungguk beratus-ratus, bahkan beribu-ribu abad merindukan bulan, mengapa aku tak bisa. Dari pungguk aku belajar arti setia, dari pungguk aku belajar tentang arti sebuah penantian, dan dari pungguk juga aku tahu cara mengobati keinduan dan memujanya di bawah purnama.

Banyak yang menawarkan cinta untukku. Tapi semua kutolak. Bukan aku bermaksud munafik atau apapun itu. Bagiku cukup mengenal satu nama dalam hidup ini. Hanya ada satu cinta untuk selamanya. Walau terkadang terbesit dalam otakku untuk mencari pengganti karena ketidakpastian dalam penantian, cepat-cepat kubuang jauh-jauh perasaan itu.
"Tidak, Yumi sangat menyayangiku. Ia pasti setia dengan janji-janjinya."

***
Saat ini aku benar-benar merasa cukup menahan rindu yang menahun menggantung di pelupuk mataku. Aku sudah lelah bertingkah di bawah purnama merindu. Dan hari ini akan kukubur semua kenangan ini sedalam rasa sayangku. Kutimbun setinggi kesetiaanku di bawah cahaya purnama. Dan akan kusirami dengan air mata rindu yang selalu mengalir di setiap malam dalam kesendirianku ketika mengenangmu. Kurasa purnama itu pasti maklum. Ia pasti mengerti dan memahami diriku yang telah lelah. Ia sendiri, telah lelah menatapku.

Malam ini tak ada purnama. Tapi sang dewi malam terlihat semangat menyinari jagat raya. Bintang-bintang yang bertabur memberikan sedikit keramaian di hatiku. Sambil kutatap ke angkasa. Indah. Mengagumkan sekaligus mahakarya ciptaan sang pencipta. Andai saja Yumi ada di sini, menatap semua ini, mungkin lebih indah lagi rasanya.

Malam ini tak ada purnama berarti aku harus menunggu lama untuk kedatangan purnama selanjutnya. Hanya kedatangan purnama, karena ia pasti takkan dating jua. Ia hanya bayang-bayang, tetapi bukan baying-bayang masa lalu. Ia hanya bayang-bayang di bawah purnama merindu. Kurasa seribu tahun kan tetap sama purnama yang kan tiba, tapi belum tentu dengannya. Pasti berbeda. Karena perempuan itu, termakan usia purnama.

***
Ternyata aku masih sampai pada purnama hari ini. Kali ini aku tak mau melewatkan sedikit pun tentang purnama. firasatku mengatakan, ia akan datang tepat ketika purnama rindang di ujung malam.

Masih kupuja namanya. Kulambaikan selendangnya. Aku masih berjaga walau ini malam sudah larut dan memasuki alam mimpi. Seketika aku terpana. Kutatap dalam penuh yakin. Dalam malam yang terang, terlihat bayangan di bawah cahaya rembulan. Perempuan itu tersenyum dengan penuh kepastian. Lalu kudekati dengan penuh yakin. Kubalutkan selendang yang kulambaikan karena dingin perlahan merasuk pada sendi-sendi tulang. Aku menangis haru atas rindu menahun yang lama menggantung di pelupuk mataku. lalu kuberkata, "Aku rindu dan telah lelah menunggu," dan perlahan purnama kulambai dengan selendang di tangan.
Sketsa Kontan - Medan, Juni 2011
renungan di bawah purnama