Jumat, 27 Mei 2011

Perempuan Penanti Di Musim Penghujan

Oleh : Rudiansyah Siregar
(Waspada, 5 Desember 2010)

Hujan mengguyur bumi yang gersang. Pepohonan menari riang ditiup angin dan tamparan hujan. Air pun meresap melewati pori-pori tanah yang telah kopong karena lama sudah kemarau bertapa. Musim ini merupakan musim yang dinanti-nantikan banyak orang, tidak terkecuali Mira.

“Musim hujan nanti abang pasti pulang, abang berharap Dek Mira sabar menunggu. Di sana nanti abang kan temui ayahmu. Abang akan katakan padanya untuk melamarmu.” Tiba-tiba wanita itu teringat lirik sendu yang pernah dilantunkan seorang lelaki padanya tiga bulan lalu. Ia tersentak dari lamunannya, lalu ditutupnya jendela tempatnya memandangi hujan sedari tadi. Ia berlari dan berteriak
“Mak…, mamak…. Bang Reihan sebentar lagi pulang…,” ia pun memeluk ibunya sangat erat.
“Apa-apaan nya kau ini bujing (sebutan untuk anak perempuan batak ), tak bisa aku bernapas kau buat.” Ia tak menghiraukan ibunya, ia terus mengguncang-guncang tubuh wanita tua itu.

Tiba-tiba Mira terdiam, kegirangannya hilang seperti ditelan bumi. Ia tak berkutik sedikit pun. Kembali di hampirinya jendela tempat bermenungnya itu dan dibukanya lagi.
“Ha, mengapa pula kau sudah? Tadi gembiranya kau ku tengok.”
“Iya mak.”
“Jadi?”, saut ibunya dengan heran.
“Apa mamak tak ingat kalau ayah tak pernah suka dengan bang Reihan?” Ibunya hanya mengangguk-angguk pelan.

Saban hari perempuan itu pergi ke pelabuhan. Tetapi yang dinanti tak kunjung jua datang. Sudah seminggu ini ia setia menunggu kapal-kapal yang singgah, berharap si Dia kan datang membawa cinta, namun entah dimana cintanya itu tertambat hingga sekarang tak kunjung tiba.

Hari ini akhir pekan kedua, perempuan itu tetap semangat pergi ke pelabuhan. Seperti hari-hari sebelumnya ia yakin bahwa sang kekasih akan kembali hari itu. Ia berdiri sambil menatap jauh ke laut lepas. Sudah berpuluh-puluh kapal yang singgah hingga sore ini, tetapi tidak ada sosok Bang Reihan yang ia temukan.
 Menjelang senja terdengar kabar  bahwa sebuah kapal yang mengangkut sekitar 300 orang penumpang tenggelam di Tanjung Siapi-api sore ini. Informasi yang berkembang, hanya sepuluh orang penumpang yang selamat. Saat ini sedang dilakukan proses evakuasi di tempat kejadian. Seluruh korban akan di bawa ke tempat ini besok.

Pikiran Mira sangat kacau. Ia merasa ada pertanda buruk. Betapa tidak, semenjak pergi bang Reihan tiada kabar sampai sekarang. Nomor handphone tiada aktif, dan tiada teman-temannya yang tau tentang kabarnya. Sekarang sudah saatnya pulang, kekasih hatinya itu tak sampai-sampai juga.

Malam sangat dingin. Hujan menghantam atap rumahnya. Suara pepohonan riuh mengaum karena tiupan angin yang sangat kuat. Wanita itu duduk di dekat jendela kamarnya sambil melihat-lihat bunga yang basah disiram hujan. Tiba-tiba ia tersentak ketika telepon genggamnya berdering. Ia hampiri tempat persegi kecil itu dengan perasaan cemas. Perlahan diangkatnya,
“Halo, Assalamualaikum…”
Waalaikum salam…” terdengar suara gemetar dari dalam kotak kecil itu. Mira sangat mengenal suara itu. Airmatanya langsung memancar.
“ Bang Reihan…”, terka Mira.
“Iya dek…” suara lelaki itu parau.
“Kapan abang pulang, Mira rindu dengan abang. Abang tega tinggalin Mira tanpa kabar,” sambil menangis terisak.
“Maafkan abang Mir, abang tidak bermaksud begitu. Semua itu sudah ketetapanNya. Abang janji akan menepati janji-janji abang padamu. Abang pulang dan menemui ayahmu tuk mengatakan abang ingin melamarmu. Walau pun abang tau itu tak mungkin lagi, abang sudah pasrahkan padaNya.
“Janganlah berkata begitu, abang usaha lah dulu. Abang sedang dimana?”
“Dalam perjalanan pulang, besok pagi sudah sampai.” Suara itu pun raib begitu saja bersamaan suara petir yang menyambar dan handphone Mira terlepas dan jatuh berserakan di lantai.

Ia tak memperdulikan itu lagi. Ia tutup jendela kamar, dan lansung berbaring diatas kasur sambil menghayalkan saat-saat indah yang akan dirasakannya besok. Saat dimana ia akan melayarkan kerinduan dalam bantera pertemuan. Akan memeluk sang kekasih erat-erat di pelabuhan, tak perduli banyak orang yang memandang. Aduhai…

Pagi itu Mira bangun cepat sekali. setelah shalat shubuh ia langsung membereskan pekerjaan di rumah. Menyiapkan sarapan untuk ibu dan ayahnya. Tanpa pamit ia langsung bergerak menuju pelabuhan. Hari masih belum begitu terang perempuan itu sudah tiba di pelabuhan. Tetapi sayang, dia bukan orang pertama yang tiba di tempat itu, mungkin orang yang terakhir. Ribuan jiwa telah menyesaki pelabuhan di pagi yang dini itu. Kerumunan masa memanggil hatinya ikut menghampiri. Isak tangis pun menyambut kedatangan sang surya. Perempuan itu memandangi mayat-mayat yang telah tersusun rapi satu demi satu. Tiba-tiba, ia terhenti ketika menatap seonggok raga yang sudah tak terkenali lagi. Jasad lelaki yang mirip sekali dengan sang kekasih. Ia tepis pikiran itu karena ia ingat tadi malam ia masih di telepon sang kekasih.

Mira masih setia menanti di pelabuhan. Seperti biasanya ia tak jua menemukan yang dinantinya dari sekian banyak kapal yang singgah. Hari sudah mulai gelap, ia pulang di tengah gerimis dengan perasaan kecewa. Tetapi keyakinan akan bertemu masih kuat didalam batinnya. Ia yakin, Reihan pasti akan pulang.

Setibanya di rumah murungnya hilang. Ibunya menyampaikan bahwa tadi Reihan datang menemui ayah dan menyatakan melamarnya.
“Lho, Mira tidak lihat.”
“Pelabuhan itu kan luas, mungkin kau tak melihatnya.”
“Ayahmu masih saja menolaknya dan mengatakan takut kalau kau nanti akan diterlantarkan. Seperti biasa, Reihan di usir ayahmu.

Mira tak perduli ayahnya menerima Reihan atau tidak, yang ia tahu hanyalah Reihan telah pulang dan menepati janji-janjinya. Perempuan itu langsung masuk kekamarnya. Ia tak sabar ingin bercerita kepada gerimis yang telah menjadi hujan deras. Dalam lamunannya ia terkejut ketika suara lelaki menyapanya di depan jendela.
“Mira..”, suara parau itu terdengar lagi. Kali ini Mira berhadapan langsung dengan pemiliknya.
Ia melihat Reihan berdiri di tengah hujan. Reihan terlihat menggigil kedinginan. Wajahnya pucat disertai bibirnya gemetar dan membiru. Tanpa pikir panjang Mira langsung keluar melompat dari jendela berharap ia dapat memeluk lelaki pujaannya itu. Langkahnya terhenti ketika Reihan berkata “ Jangan Mira! Jangan dekati aku, jangan sentuh aku! Aku sangat menyayangimu. Tetapi kita tak mungkin bersama karena kita berbeda. Aku tak mungkin lagi mencintaimu. Aku bahagia mengenalmu. Ku harap kita bisa bertemu di lain waktu. Aku harus pergi lagi”
 Lelaki itu mundur sambil menangis ditengah hujan. Mira hanya dapat berkata “Jangan pergi bang, jangan tinggalkan Mira lagi.” Lelaki itu tetap pergi dan menghilang di kejauhan.

Siangnya Mira mencari tahu keberadaan Reihan. Ia mengunjungi rumah Reihan di kampung sebelah. Sesampainya disana ia kembali dilanda keheranan. Betapa tidak, suasana duka menyelimuti rumah Reihan. Ia masuk perlahan-lahan ke dalam. Disana ia mendapati ibu Reihan yang menangis. Mira langsung menghampiri dan memeluk ibu Reihan dengan keheranan.
“Ibu, siapa yang meninggal?” tanyanya semakin penasaran sambil menangis.
Ibu Reihan tak dapat menjawab pertanyaan bintang hati anaknya itu. Mira berani kan membuka kain penutup mayat dihadapannya. Ia tersentak, mayat korban mirip Reihan yang dilihatnya semalam di pelabuhan menjadi sumber duka keluarga kekasihnya. Saat itu Mira pingsan. Ya, Reihan salah satu korban tewas dari tragedi kemarin.  Tapi apakah mungkin?

Setelah siuman ia langsung pulang ke rumah dan mencari telepon genggamnya yang sempat jatuh berserakan ketika mendengar suara petir menyambar saat Reihan meneleponnya. Beruntung handphone itu masih dapat menyala. Ia lihat daftar panggilan masuk malam itu, tapi sayang semua daftar panggilan telah kosong.

Esok harinya Mira pun masih setia menunggu kedatangan kekasihnya di pelabuhan itu. Begitulah ia dalam keyakinannya. Ia masih setia menanti Reihan di setiap musim penghujan sampai akhir hayatnya.


                                                                                             Sketsa KONTAN, 26 November 2010

Pada Muharram Kutitiskan Airmata


Oleh: Rudiansyah Siregar
(Harian Waspada, 19 Desember 2010)
BULAN ini merupakan awal tahun buat kami. Bulan pertama tahun Hijriah. Disunnahkan memperbanyak amalan dan puasa. Sudah tiga hari belakangan ini ibuku sibuk membangunkanku di tengah malam untuk makan sahur. Aku tak mau. Puasa wajib saja kulewatkan, apatahlagi puasa sunnah.
Agama bukan lagi kajianku. Aku hanya ingat uang dan menghafal nama-nama pahlawan di setiap lembarnya mulai dari nilai terkecil sampai yang terbesar. Nomor serinya pun kadang tak lekang dari benakku. Warna merah-merah dan biru itu adalah teman hidupku. Bersama mereka aku mendapatkan segala yang ku mau.
“Besok dan hari-hari selanjutnya kamu cuti. Kamu kerja di rumah saja.” Sambil tersenyum remeh bosku meletakkan amplop di hadapanku.
“Terimakasih pak.”
“Terimakasih kepalamu. Kamu saya pecat. Saya tidak butuh karyawan sepertimu. Sekarang kamu bebas dari semua pekerjaan.” Mukanya memerah seketika.
“Kenapa begitu pak? Apa salah saya? Bukannya selama ini saya telah menunjukkan loyalitas saya terhadap perusahaan ini?” Saya kan karyawan berprestasi di sini.”
“Sudahlah. Saya sudah tahu semua permainanmu Rahmat. Keluar dari ruangan saya sekarang!” Dengan geram ku tinggalkan ruangan si brengsek itu. Hatiku dongkol namun  aku tak dapat berbuat apa-apa.
“Ini pasti si Johan yang memberi tahu. Awas kau Johan.” Sambil ku kepal-kepal tanganku saat keluar dari kantor menuju mobilku.
Ku injak pedal gas dalam-dalam sampai mobilku terasa terbang di atas aspal. Gigiku sedari tadi tak lepas-lepas ku rapatkan. Hampir saja aku menabrak truk yang datang dari depanku saat aku menyelip bus kota dalam kecepatan tinggi.
“Mau mati kau setan?” Supir truk itu berteriak kuat.
Aku tak peduli. Kini kecepatan semakin meninggi. Deru mesin seperti menjerit di tengah jalan raya yang panas. Satu demi satu ku lalui kendaraan di depanku. Sepertiga dari waktu biasanya aku telah tiba di rumah. Ku parkir mobil di halaman dan langsung aku masuk ke rumah tanpa permisi. Cepat-cepat aku berjalan menuju kamar. Tiba-tiba ibu datang dari dapur dan melihatku.
kok Cepat pulang Mat?”
“Iya buk.” Langsung ku masuk kedalam kamar dan mengunci pintunya.
Ibu keheranan. Pasti saat ini ia sedang menduga-duga apa yang terjadi padaku.
“Brengsek..., AKH...” Ku lemparkan gelas yang berada di dekatku ke dinding. Pecahannya berserakan di lantai. Ibu yang mendengar semua itu langsung mengetuk-ngetuk pintu kamarku.
“Rahmat..., Rahmat. Buka pintunya!” Berkali-kali perempuan tua itu memanggil-manggil, namun tak ku hiraukan sedikitpun sampai akhirnya aku tertidur di atas lantai.
Pukul sembilan malam aku terbangun karena perutku terasa lapar. Ku keluar dari kamar mencari ibu. Pintu kamarnya yang tidak terkunci ku dorong pelan-pelan. Telekung putih masih menyelimuti tubuhnya di atas sajadah. Lantunan ayat-ayat tuhan masih berkumandang menyeruak seisi rumah. Aku sudah sangat lapar, namun ibu masih saja berdiam di sana.
“Bu.” Ibu tak mendengar suaraku.
“Ibu.” Suaraku keras. Akhirnya ibu berhenti mengaji dan menanggalkan mukenanya kemudian meletakkan Al-Quran di atas tempat tidurnya.
Ibu sudah mengerti maksudku. Di meja makan ia menanyai aku. Namun aku tetap tak mau menceritakan problema yang sedang ku hadapi. Ibu terus memaksa.
“Bu, jangan mencampuri urusanku. Urus saja urusan ibu sendiri.” Aku langsung pergi meninggalkan ibu menuju kamar.”
Terlihat guratan kekecewaan di wajah ibu. Dua tetes airmatanya langsung terjatuh setelah perkataanku. Namun tak pernah aku menghiraukan hal itu. Dari dulu pun tak jarang ia seperti itu karena ulahku. Apalagi setelah ayahku meninggal dalam kecelakaan pesawat 10 tahun lalu.
Usiaku sudah menginjak angka 30. Aku belum mau berkeluarga. Aku tau ini di haramkan agama. Bagiku hukum menikah itu sudah wajib. Usiaku sudah lebih dari cukup untuk berumah tangga dan aku telah sanggup menafkahi keluarga. Hal-hal yang di khawatirkan agama itu pun sudah menjadi rutinitasku. Aku mengetahui agama secara mendalam, hanya saja aku merasa belum waktunya untuk itu.
Malam ini terasa dingin. Tidur pun terasa sangat nikmat. Masalah-masalah yang melandaku hilang di telan malam yang semakin terlelap. Belum puas ku rasa menikmati malam, tiba-tiba saja ibu membangunkanku untuk makan sahur sekaligus shalat shubuh.
“Bu, berapa kali aku harus bilang. Urus saja urusan ibu. Sahur, puasa, shalat, persetan dengan itu semua.” Airmata ibu mengucur deras di tengah malam hening. Ia keluar dari kamarku sambil menghapus airmata dengan jari-jarinya.
Aku kasihan pada ibu. Aku sangat menyayangi ibu. Dia telah banyak berkorban untukku. Sejak ayah meninggal ia telah merangkap dua posisi itu untukku. Terkadang aku tak bisa menahan amarahku  hingga memecahkan kapsul airmatanya.
Pagi-pagi sekali aku pergi dari rumah. Aku tak mau ibu menjadi korban dari masalah yang ku hadapi. Ku tinggalkan sepucuk surat permohonan maafku di depan pintu kamar ibu.
Seharian aku melanglangbuana di jalanan. Langit petang yang tadinya merah saga kini telah hilang di telan kegelapan malam. Ku bergerak menuju tempat hiburan malam yang biasa ku kunjungi. Bartender sedari tadi masih setia melayaniku. Ini minuman entah gelas keberapa yang ku tegup. Di sana ku lihat Johan sedang asyik bersama para wanita-wanita cantik. Kiri-kanan dua wanita setia menyulangkan minuman untuknya.
Dia adalah orang yang membuat hidupku menderita, karena ulahnya juga aku jadi durhaka terhadap ibu kandungku. Saat bartender itu merunduk mengambilkan minuman untukku, aku pergi secepatnya sambil membawa sebuah botol kosong. Ku pecahkan botol itu hingga membentuk seperti obor patung liberty. Dengan sedikit sempoyongan, ku bejalan mendekati Johan. Ku sembunyikan pecahan kaca itu di balik jaketku. Aku berdiri di hadapannya. Dia kaget dan langsung berdiri. Tak sempat ia berbicara, pecahan botol yang tajam berkilat itu telah tertanam di perutnya yang buncit. Darah merah memuncrat deras dan bercucuran di lantai. Wanita-wanitanya menjerit histeris. Aku lari secepatnya keluar. Karena menghindari kejaran petugas keamanan dan orang-orang, aku lari sekencang mungkin. Dengan pemandangan yang berkunang-kunang ku coba menyeberangi jalan raya dengan berlari. Sebuah mobil sedan  langsung menghantam tubuhku. Aku terlempar entah dimana.
Aku di bawa ke rumah sakit. Kondisiku kritis. Ibuku menangis dan terus-menerus membisikkan kalimat “Lailaahaillallaah” di dekat telingaku.
Di sampingnya aku sedang sakaratulmaut. Tetapi aku tak bisa melafalkan kalimat singkat yang telah berulang-ulang ia alunkan. Bibirku terasa kelu. Lalu aku katakan padanya “Ibu, aku melihat ayah.”

 Sketsa KONTAN, 14 Desember 2010



Kamis, 26 Mei 2011

Pada Pantai, di Negeri Matahari Terbit

Semua berantakan. Semua punah. Kini aku hanya bisa melihat puing-puing yang bertebaran. Di mana ibu, ayah, dan buah hatiku. Baru sekitar empat jam yang lalu aku meninggalkan tempat ini. Sekarang, aku tak tahu harus bertanya kepada siapa tentang keberadaan mereka. Bahkan setangkai sakura pun tak ada lagi yang tersisa untukku menitip pesan.
"Ibu…!"  
"Ayah…!"  
"Naomi…!"
"Dimana kalian…?" rintihku.

Kubalik satu demi satu mayat yang kutemukan. Tiada satu pun sosok yang kucari. Padahal, hampir  sepanjang bibir pantai Hiroshima sudah kutelusuri. Aku sudah lelah. Kakiku sudah tak sanggup lagi melangkah. Aku bersandar pada tumpukan reruntuhan yang ditinggalkan tsunami sambil memeluk titipan Naomi. Lama aku terdiam menahan air mata yang tak sabar ingin membaluti pipi.

Kupandangi lagi ratusan manusia yang bergelimpangan dari tempatku terduduk. Akan tetapi, tak jua kutemukan sosok mereka. Air mata menghalangi penglihatanku dan tak lama setelah itu mataku terkatup. Aku terkejut. Terlihat olehku sesosok gadis kecil nun jauh di sana.  Ia berputar-putar di antara orang-orang yang menangis iba. Sepertinya dia tidak tahu harus menuju arah mana. Aku berdiri dan berlari ke arahnya.

"Naomi…!" teriakku sambil berlari ke arah gadis kecil itu.
Dia pun tak mau ketinggalan. Ia berlari ke arahku sambil menangis. wajahnya tegang dan sangat pucat. Terlihat rasa takut yang sangat di balik raut lucu wajahnya, juga rambut ikat dua yang menindih bahunya. Kudekap erat tubuhnya dalam lingkaran tanganku. Seketika aku tersentak. Ternyata aku bermimpi bertemu Naomi, anakku. Sebenarnya mustahil ibu, ayah, dan anakku, Naomi masih hidup, menurutku. Tapi aku tetap pada keyakinanku. Mereka harus masih hidup, tak bisa tidak.

Perlahan gelap menyelimuti Negeri Matahari Terbit.  Aku berjalan gontai tanpa tujuan. Ke mana aku harus pergi sedang tempat tinggalku telah rata dengan tanah. Tak mungkin aku bisa hidup hanya bertemankan boneka titipan Naomi ini. Seketika pandanganku kabur. Dan aku tak tahu karena tiba-tiba saja gelap bersarang.
Ayah, belikan Naomi boneka babi merah muda, ya…!  
***
"Okada, kembalilah bersama Arumi. Jangan terlalu egois. Dia sudah berubah. Apa kalian tidak memikirkan bagaimana perasaan Naomi. Dia juga butuh kasih sayang seorang ibu. Bukankah Arumi sudah berulang kali meminta maaf padamu? Apa perhatiannya belum cukup  selama ini padamu dan Naomi? Ingat, Okada, Arumi menyayangimu."
"Benar, Okada." tambah ayah.

Ibu dan ayah sangat ingin aku kembali bersama Arumi. Aku belum bisa. Hatiku belum bisa memaafkan Arumi. Arumi telah mengkhianatiku. Peristiwa di Soul tahun lalu masih melekat di pikiranku. Ketika aku memergokinya bermain api bersama Izo, bosnya saat itu. Aku sengaja membuntuti mereka sampai ke Soul. Aku curiga dengan gelagat mereka. Arumi terbang ke Soul dengan alasan pekerjaan bersama Izo. Malam sebelum keberangkatan ke Soul, tak sengaja aku mendengar percakapan mereka. Izo menelepon Arumi dan membicarakan suatu tempat. Aku tak kesulitan menemukan mereka karena aku pernah tinggal di Kota Soul.

Ketika itu hatiku benar-benar hancur. Sampai akhirnya aku membawa Naomi yang saat itu berumur dua setengah tahun dan mengajaknya untuk tinggal di rumah orangtuaku. Sejak saat itu, aku tak pernah lagi menghiraukan Arumi. Tetapi ia malah semakin mendekat. Katanya ia menyesal dan  meminta maaf atas semua kesalahannya. Dan ia juga berjanji tak akan mengkhianatiku lagi. Buatku, itu tak cukup. Kurasa aku tak akan pernah bisa memaafkannya. Aku merasa jijik setiap kali melihat dirinya. Tetapi, entah mengapa ada semacam rasa yang membuat aku ragu untuk membencinya, lebih-lebih ketika aku mendengar rengekan manja Naomi meminta bertemu ibunya.

"Okada, bawalah Naomi bertemu ibunya!" sambung ibu setiap kali Naomi merengek.
"Aku ada urusan, ibu sajalah yang membawakannya."
"Ayah mau pergi kemana?" suara manja Naomi menanyaiku.
"Ayah mau kerja, sayang…," kecupan pun langsung mendarat di pipi lembutnya.
"Hati-hati ayah, cepat pulang…! Jangan lupa belikan Naomi boneka babi merah muda, ya…!"
"Iya, sayang. Pasti nanti ayah belikan."
******
"Kero, menurutmu apa yang harus kulakukan." tanyaku pada Kero di sela-sela makan siang.
"Kau harus bersikap dewasa, Okada. Kau sudah memiliki anak. Bukannya Arumi sudah menyesali semua perbuatannya. Sekarang jawab jujur, apakah kau masih mencintai Arumi?"
Lama aku terdiam karena pertanyaan Kero. Aku tak tahu harus menjawab apa. Sejujurnya, aku masih sayang pada Arumi, mantan istriku. Hanya saja bayang-bayang luka itu masih saja menggeluti arena hidupku, tetapi, ketika aku meihat wajah Naomi aku merasa bersalah karena telah menjauhkannya dari Arumi.
"Sudahlah, Okada. Belajarlah memaafkan Arumi. Bersatulah seperti dulu. Beri kelengkapan pada anak kalian. Mantapkan niatmu!" tungkas Kero.
"Terima kasih, Kero. Aku akan coba," jawabku sambil tertunduk.
"Kutunggu kabar gembira darimu. Kau teman terbaikku. Aku sangat mengenalmu." sambil berdiri dari tempat duduknya ingin meninggalkanku.
Beberapa langkah ia berjalan, ia berbalik dan berbisik ke telingaku, "Arumi semakin cantik, jangan sampai ia jatuh ke pelukan orang lain. Sudah lama kan…, Hahahaha," ejeknya. Aku hanya membalas dengan acungan tinju. Kero pergi sambil menertawaiku.
"O ya, makanannya enak, kapan-kapan ajak Arumi ke sini," teriaknya dari arah pintu. Aku tak menggubris karena dia terus menertawakanku.
"Benar apa yang dikatakan Ibu, Ayah, dan Kero. Aku tidak boleh egois. Aku harus bisa memaafkan Arumi," desisku.
Aku merasakan aroma wangi bunga sakura di ujung sana. Rasanya, aku ingin cepat-cepat pulang dan membawa anakku menyaksikan drama romantis antara ibu dan ayahnya. Tak lupa kucarikan boneka babi pesanan Naomi, dan cincin berlian untuk Arumi. Aku harus memperbaiki kehidupanku. Keluargaku harus utuh kembali seperti dulu.
Kuinjak pedal gas dalam-dalam hingga mobilku terasa terangkat. Alunan suara merdu Christian Bautisata menambah keromantisan suasana hati. Lagu Beautiful Girl menjadi teman setiaku menikmati perjalanan. Tiba-tiba kurasakan goncangan dahsyat. Spontan aku berhenti dan keluar dari mobil.
Aku berdiri di pinggir jalan bersama pengendara lainnya. Semua panik. Aku ikut menyaksikan gedung-gedung tinggi yangh seakan roboh mencium tanah. Dan kudengar orang-orang menyebut-nyebut kata tsunami. Aku sangat panik. Cepat-cepat kuraih telepon genggam dari saku. Tak sempat aku menelepon,  dering panggilan telah bergetar di tanganku, "Ada apa, Arumi?" tanyaku.
Perempuan itu tak menjawab. Hanya suara tangis yang terdengar mengiba dari balik kotak persegi kecilku. Tangisan Arumi membuatku semakin tak terkendali.
"Arumi, apa yang terjadi, ha?" bentakanku meresap ke dalam penangkap suara handphone.
"Rumah. Dihantam. Tsunami. Beberapa. Menit lalu..."
Aku  tak dapat berbicara sepatah pun. Seketika aku terduduk di atas aspal. Kurasakan hujaman-hujaman tepat di dadaku. Napasku tersengal. Sulit kubayangkan. Sungguh. Aku seperti berada dalam buaian mimpi. Ya, aku pasti bermimpi.
Ayah, belikan Naomi boneka babi merah muda, ya…!
Aku berlari mendekati mobil. Saat ini pedal gas tak lepas lagi. Beberapa kali aku nyaris menabrak. Dari kejauhan kulihat semua telah rata dengan tanah. Hanya gundukan puing-puing yang dapat terlihat olehku.
********
Ayah, belikan Naomi boneka babi merah muda, ya…!
"Naomi…!" teriakku.
"Bapak sudah sadar?" ucap seorang laki-laki berkacamata padaku. Aku hanya diam. Sementara di sampingku kulihat Arumi menangis sambil memeluk boneka babi merah muda. Lalu dia berdiri dan memelukku. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibir kami. Hanya derai air mata dan pelukan dari tsunami yang masih tersisa.
Aku hanya dapat memandangi laut dari pantai Hiroshima, Negeri Matahari Terbit ini. Sambil kutatap jauh ke laut lepas. Dan suatu hari nanti angin akan datang dari arah seberang laut sana membawa sepucuk pesan, untukku, "Ayah, aku tidak bermain boneka babi lagi."
"Oh, anakku sudah dewasa rupanya."
( Sketsa KONTAN, 14 Maret 2011, Jepang dalam duka)
 BGaul Minggu, 10 Apr 2011 11:19 WIB

Perempuan di Kursi Belakang

Kau duduk manis di kursi belakang dalam simpuh senyum yang menghujam
Aku kalang-kabut
Sungguh, tak pernah kurasakan ketajaman senyum yang mampu
merobek jantungku
mengoyak dagingku
hingga aku menggelepar dan meringkik dalam aura cinta
yang semakin lama semakin menusuk dalam batin yang lara

Sketsa KONTAN - dalam harap, 2011

Siluet Atas Namamu

Ini malam telah kuutus debarku lewat angin yang melintas
Seutas senyum pun tak lupa kutitipkan padanya
Ambillah titipan yang akan ia ikatkan di tiang rumahmu
Ia takkan memanggilmu karena ia enggan mengganggu tidurmu yang tengah melewati keindahan mimpi dan perlahan meramu tawa untuk esok hari

Dan di sini, aku akan duduk menunggu kabar angin
Sambil menatap siluet yang tertulis atas namamu

Sketsa KONTAN, Maret 2011

Sepercik Api di Atas Daun Basah

Aku ibarat sepercik api di atas lembaran daun basah dan masih hijau
Kehadiranku tak mampu memarakkan daun di antara kedinginan yang tengah meresap dalam tubuhmu

Bolehkah aku berdiam di sini merangkul sejuta kisah tentangmu
Dan membentangkan harapan seluas lautan
untukku berenang dan tenggelam dalam kedalaman senyummu
sebab ku tahu, aku butuh dirimu
walau aku tak mampu menghangatkan cintamu

Sketsa KONTAN, Maret 2011