Selasa, 13 Desember 2011

Sabit Merah Rebah Dipelukan (Medan, 1953)

Cerpen Harian Analisa (Rabu, 14 Desember 2011)
Oleh : Rudiansyah Siregar
 http://www.analisadaily.com/news/read/2011/12/14/26104/sabit_merah_rebah_dipelukan_medan_1953/#.TugEcFb3A_4


Sabit Merah Rebah Dipelukan (Medan, 1953) 
Malam begitu mencekam. Persis saat 58 tahun silam ketika aku harus menuai airmata sebagai teman kehidupan. Saat aku harus kehilangan semua yang kusayang demi tanah air dan kota tercinta ini. Aku adalah Medan, saat ini dan saat nanti. Saat sabit merah rebah di pelukanku. Aku percaya pada karma.
"Kota ini warisan leluhurku. Tak kubiarkan seorang pun merampasnya dari tangan Guru Patimpus, Tuanku Pulo Brayan."

Dan Carolina yang tidak bersalah harus menjadi pelampiasan kemarahan bandit-bandit anti pemerintahan, musuh-musuh bebuyutanku. Karena ketidaksediaanku untuk berkhianat pada A.M. Jalaluddin, walikota saat itu, mereka menculik istriku dan membuangnya entah kemana, tak pernah ketahuan di mana terakhir kali jejaknya tertapak. Akan tetapi, bagiku hanya ada satu cinta untuk selamanya. Dan aku akan menunggu perempuanku walau penantianku akan sia-sia. Tapi aku puas karena hidup dengan ketegasan janji dan keteguhan hati. Dan kulalui dengan satu ceret kopi setiap malamku.

Aku seolah paham akan arti bulan sabit merah malam ini. Tapi, biarlah kuserahkan pada yang kuasa sebagai penentu jalan kehidupan manusia. Semua yang terjadi pasti atas kehendak-Nya.

Di sisi lain, aku sangat galau. Tak biasanya Jauhari belum datang jam segini. Biasanya kami sudah mengembara jauh dalam cerita di malam selarut ini. Mudah-mudahan ia baik-baik saja.

***

Ini malam benar-benar mencekam. Sabit merah semakin mengental di awal malam. Rintik-rintik hujan seakan menambah degup jantungku yang menggelegak. Ya, sudah sewajarnya setiap perbuatan mendapatkan ganjaran yang setimpal. Hutang nyawa harus dibayar nyawa, hutang darah harus diganti dengan simbahan darah pula.

Kusingsingkan lenganku. Kutempuh jalanan dengan penuh keyakinan. Perlahan kuraba belati yang kuikatkan di pinggang. Aku berhenti ketika berada di depan sebuah rumah bertingkat dan megah. Lampu-lampu taman di dalamnya terlihat memata-mataiku. Namun ia diam ketika melihat kilapan yang terpancar dari belati berbentuk sabit di tanganku.

Pelan-pelan aku mendekati rumah Jarot. Tak berapa lama aku telah berada dalam rumah megah itu. Sementara di luar sana hujan semakin menghantam keras, dan di sini kamar Jarot tidak terkunci.

"Selamat malam, Tuan Jarot!" sambil kukunci rapat pintu kamar itu.

"Siapa itu? Brengsek!"

Terdengar suara lompatan di kamar yang gelap. Seketika lampu menyala. Di hadapanku berdiri sosok lelaki berperut buncit memegang sebilah pisau. Ia berdiri di sudut ruangan. Sedang istrinya duduk ketakutan di atas kasur di tengah malam yang bermandikan hujan.

"Jangan mendekat! Jangan mendekat!" ucap laki-laki itu sambil mengacungkan pisau ke arahku.

Dengan cekatan aku meloncat ke atas kasur tempat istrinya berada. Tak sempat perempuan itu menjerit, lehernya telah tertodong oleh belatiku yang mengkilap oleh cahaya lampu.

"Jangan! Jangan! Ambil apa pun yang kau inginkan! Tolong jangan sakiti istriku! Kumohon…!"

"Kalau begitu, di mana istriku?"

"Maksudmu?"

"Jangan pura-pura bodoh, Jarot. Kaulah dalang penculikan istriku, bukan?"

"Damar…?"

"Ya."

Seketika ia terduduk. Menangis. Ia mengatakan bahwa istriku telah mereka lemparkan dari atas jembatan. Dan ia sendiri tidak tahu keberadaannya. Dia hanya terima bersih, ucapnya.

"Maafkan aku, Damar. Aku menyesali semua perbuatanku. Ampuni aku."

"Tak semudah itu, Jarot."

Tak berapa lama istrinya telah terguling di atas tilam. Darah bersimbah di tengah malam yang basah. Jarot berlari ke arahku dengan pisau di tangannya. Namun malang, pisauku lebih panjang hingga ia tersungkur di atas lantai. Lalu kubuka penutup wajahku. Tiba-tiba saja anak laki-lakinya melihat aku dari depan pintu. Bocah delapan tahun itu menangis histeris. Ia ikut menyaksikan ayah dan ibunya tergelimpang bersimbah darah tanpa nyawa dalam kondisi yang mengenaskan. Lalu kuberikan pisau yang berbentuk sabit itu padanya.

***

Setiap malamku kulalui dengan memandang rembulan. Aku menunggu Carolina. Dalam yakinku, ia pasti kembali walau kadang terbesit keraguan dalam tiap malamku. Namun aku tak pernah lelah. Biarlah kuhabiskan hidupku bersama malam, sebab darinya aku banyak belajar dan merenungi hidup.

Seperti biasanya Jauhari datang menemaniku di sini. Meneguk cangkir demi cangkir kopi hitam pahit sambil bercerita tentang kehidupan. Aku lupa entah kapan pertama kali aku mengenalnya, yang kutahu ia selalu datang tengah malam dan menceritakan segala masalahnya dan tak lupa meminta petunjuk dariku. Dan ketika azan subuh berkumandang, barulah ia pamit untuk pulang.

"Selamat malam, Pak Damar!" terlihat sosok lelaki gendut di halaman.

"Malam! Mari, mari minum kita. Ia duduk di hadapanku. Seperti biasa. Aku bercerita segala kisah hidupku. Hanya dialah orang yang kupercaya untuk berbagi semua cerita. Tak ada yang kulindungkan satu pun darinya. Dia sudah kuanggap seperti anak sendiri.

"Bagaiamana ceritamu hari ini, Jauhari?"

"Tak ada masalah. Aman-aman saja…"

"Hahahaha…," tawa kami pecah secara serempak di tengah keheningan malam.

"Jauhari. Selalulah berbuat yang baik. Karena balasan perbuatan itu selalu seperti apa perbuatan yang telah kita lakukan. Karma tuhan itu pasti adanya. Kau percaya itu?"

"Ya, aku sangat percaya itu. Karena kehidupan adalah apa yang kita perbuat. Bukan begitu, pak?"

"Betul itu…, sudah kau kuasai rupanya semua yang kuajarkan."

"Hahaha…!"

Namun selalu saja ada airmata yang tercurah di pipiku di sela-sela perbincangan kami. Ketika aku mengingat dan bercerita tentang Carolina. Istriku. Satu-satunya wanita yang kuijinkan menemani hidupku dan takkan ada lagi perempuan dalam hidupku sekalipun ia telah tiada, itu sumpahku. Sampai di usia 78 tahun aku masih tetap sendiri menjalani kehidupan. Tak pernah terlintas dalam pikiranku untuk mencari pengganti. Aku akan menunggunya sampai kopi pahit di dalam teko besar itu sudah tidak terasa lagi di lidahku. Dan mungkin sampai sabit merah rebah di pelukanku. Aku meyakini semua itu.

***

Suara jangkrik bercengkrama dengan pungguk yang sesungguk setelah hujan. Malam ini sedikit berbeda. Suasana terasa lebih dingin dari biasanya. Musim penghujan. Di tempat biasa aku duduk menunggu Jauhari datang, dan kali ini sambil berbaring. Aku sangat panik. Secara tiba-tiba Carolina berdiri di hadapanku. Tapi anehnya, wajahnya tak berubah sedikitpun dari 58 tahun silam. Saat ia memasak untukku, saat ia mengambilkan pakaian, juga masih kulihat senyumnya ketika pertama kali aku memintanya untuk menjadi pendamping hidupku.

"Carolina…" ucapku pelan.

Ia hanya membalas dengan senyuman. Perlahan ia melepaskan genggamannya dan menjauh pergi sambil melambaikan tangan.

"CAROLINA…!" teriakku terhenti ketika gelas yang berisi kopi pahit terjatuh dan berserak di lantai. Aku terbangun.

"Ternyata mimpi" pikirku.

Mataku tertuju ke halaman yang kini bermandikan hujan sejadi-jadinya. Tapi, bukan itu yang membuatku merasa aneh. Aku melihat sosok lelaki berdiri bermandikan hujan. Kuamati dalam-dalam dan aku mengenalinya.

"Jauhari!" ucapku.

Ia tak menggubris. Perlahan ia mendekat dengan tatapan berang ke arahku. Namun yang lebih mengejutkan ketika ia mengeluarkan pisau berbentuk sabit dari punggungnya. Pisau itu mengkilat. Ia berdiri tepat di hadapanku.

"Kau percaya pada karma?" tanyanya.

"Ya, aku sangat yakin adanya."

"Kau telah memberikan pisau sabit ini, dan sekarang kukembalikan padamu."

Dan kini sabit benar-benar merah di pelukanku. Lalu kutatap langit. Ia juga memberikan gambaran sama, sabit telah merah di pangkuanku dan di pangkuan langit.

Sketsa KONTAN, April 2011
Renungan di bawah bulan sabit