Minggu, 27 November 2011

Hilangnya Kampung Tarondam


Oleh: Rudiansyah Siregar
(Harian Waspada, September 2011)

Cahaya menerangi dari ujung ke ujung kampung. Pada tiap-tiap tiang listrik, terpasang lampu neon menerangi di sepanjang jalan. Di kiri-kanan jalan berjejer rapi rumah-rumah panggung penduduk beratapkan seng, ada juga beberapa rumah yang masih beratapkan rumbia. Jarak masing-masing rumah hampir sama, sekitar lima sampai enam meter. Suasana begitu luas terasa untuk memandang. Hingga di kejauhan, sampai ke belakang rumah-rumah warga meskipun ini sudah lewat tengah malam.
Suasana begitu hening dan tenang. Kuhentikan sejenak perjalanan. Sembari melihat-lihat dan mengingat kembali memori limabelas tahun silam. Tidak ada yang sama menurutku. Di kiri-kanan jalan tidak ada pohon-pohon karet yang menjulang, tidak ada rumput sepinggang, atau rumah-rumah yang tersembunyi di balik pepohonan. Bahkan, jalan yang sedang kulalui ini bukanlah jalan kampung yang belum berlapiskan aspal. Mungkin aku salah alamat. Tapi, mengapa aku bisa berada di tempat ini dengan alamat yang kubawa. Alamat yang diberikan ayah seminggu yang lalu.
Lama aku terpatung seakan tak percaya apa yang terjadi. Kampung ini sudah begitu maju dan pesat. Ramai sekali. Mungkin karena ini sudah hampir subuh hingga keramaiannya tidak begitu terasa.
“Kampung Tarondam…”
Seseorang membuka pintu. Turun dari rumah panggung yang agak kecil tetapi tongkatnya lumayan tinggi. Mungkin terbuat dari kayu meranti, landas, pulai, maupun kayu jati. Sosok laki-laki berbadan kurus dan jangkung. Ia mengenakan sarung tanpa memakai baju. Laki-laki itu berjalan menuju badan jalan, ke arahku. Di hadapanku kini ia berdiri sambil menyeruput sigaret. Hingga pipinya terlihat lekuk karena kuatnya menghisap. Ia tersenyum dengan penuh keramahan.
“Ondak kamana ika, nak? Mancari rumah siapa?”
Inilah orang-orang peisir sejati, pikirku. Masih seperti dulu. Memiliki kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Tak harus kenal baru menyapa, tak meski kenal baru tersenyum. Luar biasa. Ucapan laki-laki itu membuatku yakin bahwa aku tidak salah alamat. Aku masih mengingat bahasa itu. Yang paling jelas adalah pelafalan konsonan “r” berbunyi “kh” seperti huruf arab. Aku pernah menjadi penuturnya meski aku tidak begitu mahir. Laki-laki yang menyapaku itu menggunakan bahasa melayu panai, “Mau kemana ini, nak? Mencari rumah siapa?” itulah yang baru saja ia tanyakan padaku.
“Mau ke rumah Nenek Saniah, pak.” kataku sembari menyunggihkan senyum.
“Ananda ini siapanya Nek Saniah?” laki-laki itu merubah bahasanya karena aku menjawab dengan bahasa Indonesia, bahasanya orang-orang kota, polisi, dan anak-anak di sekolah bagi mereka.
Bukan aku bermaksud sombong, hanya saja aku kurang lihai menuturkan bahasa yang tadi.  Mungkin karena sudah lama kutinggalkan. Sudah belasan tahun. Terakhir aku di sini sewaktu tamat sekolah dasar. Persis limabelas tahun yang lalu saat aku harus pulang setelah menyelesaikan pendidikan dasarku. Aku kembali ke Kota Medan, ke rumah ayah-ibuku. Saat itu, kampung ini masih dipenuhi semak belukar, hutan yang hijau dan alami, masyarakat yang beradat dan religius, serta tutur sapa yang bersahaja. Hal itulah sebenarnya yang membuatku datang berkunjung ke tempat ini.
“Saya. Cucunya, pak!” jawabku sambil mengulurkan tanganku.
Laki-laki itu mengulurkan tangannya. Akan tetapi, ia kelihatan sedang memikirkan sesuatu. Seperti penasaran. Ditatapnya dalam-dalam wajahku sambil ditempelkannya telunjuk di keningnya.
“Cucunya?” tanyanya kembali sambil mengernyitkan kening.
“ Iya, pak.”
“Siapa nama ayahmu?”
“Efendi, orang-orang biasa memanggilnya Pendi.”
“Oh…, anak Bang Pendi …!
 “Mari, mari, biar kuantar saja kau.”
Sepertinya aku mengenal laki-laki ini, laki-laki yang sedang menggandeng tanganku. Sambil bercerita panjang lebar. Ternyata benar, aku mengenalnya. Dia Incek Onah, ayahnya Si Amin, teman sekolahku dulu.
“Dimana sekarang Si Amin, Ncek?”
“Si Amin di Dumai. Dia sudah menikah.”
Masih seperti yang dulu, pikirku. Kebiasaan orang-orang pesisir adalah merantau dan berinduk semang. Hanya beberapa menit, kami tiba di depan sebuah rumah panggung, tetapi berbeda dengan kebanyakan rumah-rumah warga lainnya. Rumah ini tidak memiliki beranda. Selain tongkatnya terbuat dari batu, juga tidak memiliki tangga dan tidak tinggi. Hanya sekitar tigapuluh sentimeter dari tanah.
Sebenarnya hanya aku saja yang sudah begitu lama tidak ke sini. Ayah, ibu, dan saudara-saudaraku hampir saban tahun berhari raya di kampung ini. Itu karena sejak SMP hingga saat ini, aku belajar di Pulau Jawa. Dua tahun sekali pun belum tentu bisa pulang. Kampung ini bernama Gajah Mati, begitulah orang-orang asli sini menyebutnya – orang-orang melayu panai. Aku sendiri tidak tahu mengapa dinamai seperti itu. Mendiang kakekku sendiri mengatakan di sini tidak pernah ada gajah. Namun ada sebagian orang mengatakan bahwa di sini pernah ada gajah yang mati. Aku sendiri lebih suka menyebutnya Kampung Tarondam, yang dalam bahasa melayu panai artinya kampung yang terendam. Itu karena setiap lima hari di pertengahan dan di akhir bulan hijriah, air sungai naik hingga ke permukiman warga untuk beberapa jam saja. Tapi sekarang tidak lagi, karena air pasang tidak menjangkau tempat ini. Itu dulu, sewaktu rumah-rumah penduduk masih berada di sana, di tepian Sungai Berumun. Dan saat ini, semua sudah bergeser sedikit ke atas sini. Hal itulah yang membuatku merasa asing sejak pertama kali sampai. Benar-benar berbeda.
Ayahku menyuruhku menempuh pendidikan dasar di sini supaya aku bisa mendapatkan pemahaman agama yang baik sejak dini. Kampung Tarondam ini dikenal sebagai kampungnya orang-orang alim, orang-orang yang mengerti banyak tentang ilmu agama. Tidak ada satu pun ditemukan perbuatan-perbuatan maksiat. Bersih. Aku tinggal bersama nenek selama enam tahun. Selama itu pula aku belajar agama dengan baik. Itu terbukti dengan prestasi-prestasi keagamaan yang kuperoleh selama di tempat ini, di Kampung Tarondam yang penuh dengan kebersamaan.
***
Perlahan mega memudar. Kupersiapkan diri untuk mengulang kembali kenangan masa kecil yang penuh dengan warna-warna keimanan. Ternyata memang hanya kenangan yang kudapatkan, hanya bayang-bayang kejayaan Kampung Tarondam. Kampungku itu entah kemana hilangnya bersama semua penduduknya yang beradat dan religius.
“Nek, kenapa tidak ada lagi yang mengaji di tiap rumah seperti dulu?” tanyaku pada nenek yang baru saja melepas telekung yang membaluti tubuhnya.
“Jangan kau harap lagi itu. Untuk jadi obat, satu orang pun payah sudah kita dapatkan.”
Kata-kata nenek benar-benar membuatku terkejut. Apa sebenarnya yang melanda kampung ini. Kemana hilangnya Kampung Tarondam yang kudamba-dambakan itu. Mungkinkah ia hanyut terbawa air pasang yang naik dua masa setiap sebulan itu, mungkinkah ia tertimpa kemudian tertimbun pohon-pohon karet yang kini tidak kulihat lagi. Pohon-pohon pinang dan kelapa yang menjulang tempatku berlari, atau pohon-pohon jarak tempatku bersembunyi dulu bersama anak-anak yang diridai ilahi.
Ternyata semua tak sejalan dengan apa yang kuperkirakan sebelumnya. Ketika Incek Onah menyapaku semalam sempat tumbuh keyakinan bahwa kampungku masih seperti dulu. Mungkin yang tersisa hanyalah tutur sapa, sedang yang lainnya entah dimana. Kampungku. Kampung Tarondam. Masih sangat jelas terbayang wajahnya dalam ingatanku. Ketika gema bang senja dikumandangkan, dia memperdengarkan aku dengan lantunan-lantunan ayat-ayat tuhan dari seluruh penjuru. Dengan cahaya lampu teplok berminyak tanah penduduk kampung karunia tuhan itu mampu membaca dengan merdu lagi menghafalkannya. Saban malam, setelah maghrib selesai didirikan. Tapi kini itu tidak kurasakan lagi, tidak terdengar walau satu sebagai pengobat hati. Yang ada hanya kebisingan menuju kemerosotan, keterpurukan.
Lentingan ayat-ayat suci telah berganti dengan dentuman-dentuman televisi dari tiap penjuru mata angin. Di bawah lampu neon sekarang berjejer muda-mudi berpakian rapi dan wangi. Rambut warna-warni ala aktor dan aktris luar negeri. Remaja telah berada di atas motor menunggu sang gadis yang sedang berjalan menujunya. Berpakaian bebe dan make-up menol yang menggoda pada malam yang baru saja melepas senja.
Di bawah cahaya pijar, di belakang warung Pak Umar kini orang-orang tua duduk berjemaah bersama tumpukan. Teko tuak bagaikan tropi yang siap untuk dibagi. Isya saja belum tiba. Inikah kampungku, Kampung Tarondam karunia tuhan yang dulu berjaya dalam keyakinannya.
Kuteteskan air mata bersama isak tangis yang sudah tak mampu lagi menahan duka. Kampungku telah hilang, kampungku telah sirna. Aku hanya bisa menyaksikan puing-puing kehancuran. Dan di hadapanku, serasa telah menderu sesuatu. Sangat dekat. Air yang menggenang itu telah tumbuh dewasa. Kini ia tidak merendam lagi kampungku, hingga aku harus merubah namanya. Kampungku Kampung Karam. Seperti apa yang ada di depan mataku kini.
Sketsa Kontan- Kampung Tarondam Gamas,  Agustus 2011


(*) Cerpen ini merupakan bentuk keprihatinan saya terhadap satu kampung di Pesisir Kabupaten Labuhanbatu, Sumut. 

Gadis Perajut Air Mata


Oleh: Rudiansyah Siregar
(Harian Medan Bisnis)
BGaul Minggu, 03 Jul 2011 10:52 WIB


Aku masih menangis dan akan terus menangis. Bagiku hanya air mata yang bisa memahami dan mengerti tentangku. Tentang perempuan hina yang tiada arti di mata kaum lelaki. Kini tak henti kurajut air mata untuk kujadikan selimutku dalam kesendirian dan kehinaan ini. Biarlah air mata, dan hanya air mata yang akan kujadikan sahabat sejati dalam hidupku yang tiada tentu arah dan tujuan lagi.

Mereka, lelaki hanya tahu kejelekan kaum hawa, tanpa pernah berpikir tentang kebaikan apa yang sudah mereka perbuat. Seperti aku, yang dicampakkan suamiku. Aku disepak dari atas ranjang di malam pengantin.

Aku memang gadis, tetapi tidak gadis. Itu karena ayah dan ibuku memberiku nama Gadis Ayu Dinamita, sehingga orang-orang memanggilku gadis, sekalipun aku bukan lagi seorang gadis.

"Brengsek!" katanya sambil berdiri dan menendangku. Tak hanya sampai di situ, pukulan tangannya yang kekar pun berkali-kali mendarat di tubuhku. Layaknya orang yang kerasukan, ia terus menghantamku tanpa belas kasih.

"Pergi dari sini!"
Sejak itulah aku menjadi gadis penikmat sepi dan perajut air mata. Laki-laki terlalu munafik. Mereka terlalu menganggap dirinya suci. Padahal mereka juga yang telah menyebabkan banyak perempuan menderita.

Kini aku menyandang status janda, namun aku tetaplah gadis, seperti biasanya. Padahal dari awal aku sudah memperingatkan Parlin, mantan suamiku, bahwa ia akan menyesal jika menjadikanku sebagai istrinya. Mulut manisnya tersenyum dengan berkata, "Aku siap menerima kelebihan dan kekuranganmu. Apa pun adanya aku telah siap menjadikanmu pendamping hidupku."

Manis bukan? Itulah lelaki. Padahal aku sendiri tidak tahu apakah ia masih perjaka atau tidak. Bisa saja ia sudah berbuat berkali-kali, tapi siapa yang tahu. Mereka tidak memiliki tanda-tanda, hanya itu saja perbedaannya.

Bukankah setiap manusia memiliki masa lalu yang suram, dan itu semua tentu punya alasan tersendiri. Manusia bukanlah malaikat ataupun nabi yang maksum dari segala perbuatan dosa. Manusia tak ada yang sempurna.

Hanya karena aku gadis yang bukan gadis, apakah sepantasnya lelaki itu mencampakkan dan menghinaku? Di mana sebenarnya hakikat cinta. Apakah pada kemolekan dan keindahan tubuh, atau pada hati yang terpatri. Atau pada gadis. Sejujurnya kukatakan, ini bukan kesalahanku. Lelaki sulit memahami.

Ini berawal waktu ketika aku menyelesaikan pendidikan menengah pertamaku di Kota Medan. Saat itu aku tinggal bersama saudara perempuan tertua ayahku. Kebetulan ia tidak memiliki anak, hingga ia rela membiayai sekolahku bahkan sampai ke perguruan tinggi bila aku mau. Setelah tamat, orangtuaku memintaku untuk kembali ke tanah bertuah Sultan Abdul Rahman Muadzam Syah di Kota Panipahan, Riau. Sebenarnya Uakku (sudara perempuan ayahku), memintaku untuk tetap tinggal bersamanya di tanah Patimpus ini untuk melanjutkan. Akan tetapi, orangtuaku tetap tidak setuju dan memintaku pulang dan bersekolah di tanah melayu, dan itu tercapai.

Sangat banyak kenangan yang kutinggalkan dan yang terlupakan. Di sana dulu, di sudut kota Pattimpus. Pernah aku mengukir berjuta kenangan. Tentang mimpi, bahkan cinta. Di sanalah pertama kalinya hatiku kulabuhkan. Pada seorang pria, mungkin saat ini ia entah di mana, aku tidak pernah lagi tahu kabarnya setengah dasarsa silam. Kurasa hidupnya pasti bahagia. Atau mungkin saja, ia tengah melanjutkan perjuangannya. Sebab terakhir kali kudengar ia merantau melanjutkan pendidikannya. Ia sangat berkarakter, tampan, dan yang paling membuatku bangga adalah dia begitu pintar. Terbukti peringkat satu yang disandangnya selama bersekolah. Selain itu, ia pandai bermain piano. Suaranya juga merdu, kalau saat ini mirip dengan Christian Bautista penyanyayi dari Pilipina itu, bahkan parasnya tidak jauh berbeda. Ia juga terampil dan tangkas dalam bermain bola kaki, bulutangkis, dan renang. Itu terbukti dengan beberapa kali ia mendapat penghargaan dalam berbagai bidang itu. Masih banyak lagi kebanggaanku tentangnya, tetapi takkan cukup jika kuceritakan melalui kisah ini.

Lelaki itu begitu perfect bagiku. Dan saat itu, bukan hanya sekedar cinta monyet, menurutku. Karena aku benar-benar sayang bahkan setia padanya. Hanya mungkin tuhan tidak menakdirkan kami bersama. Andai dulu tuhan bertanya padaku tentang perihal siapa yang akan menjadi suamiku, maka dengan tegas aku akan menjawab, "Adrian Maulana," karena memang dia lelaki yang paling aku sayang, begitu juga sebaliknya saat itu. Kurasa, tak mungkin lagi ia mau kembali mengulang cerita seperti dulu, apalagi bila ia tahu tentang diriku yang sekarang. Gadis, bukan gadis lugu yang dikenalnya dahulu.

Masih kukenang perpisahan kami malam itu. Ketika ia menyatakan janji setia bersamaku. Tak peduli seluas apa jarak yang akan terbentang di hadapan kami. Dan aku menyanggupi.
Masa-masa awal sekolah, komunikasi kami masih berjalan baik. Ia masih sering berbagi kabar via telepon, begitu juga aku. Kami mulai renggang komunikasi, saat saudara laki-lakiku memintaku untuk sekolah di Padang. Di sinilah awal-awal kehancuran dalam hidupku. Pihak sekolah lamaku tidak mau memberikan surat pindah padaku. Akhirnya, terpaksa aku harus menunggu selama satu tahun di ranah minang.

Dalam waktu menunggu itu, aku bekerja di sebuah ponsel cabang milik teman abangku. Semua kulakukan berharap kejenuhanku bisa hilang sekaligus menambah pengalaman. Pemiliknya adalah teman sekaligus bos perusahaan tempat abangku bekerja.

Sampai pada suatu malam. Bosku menyuruhku lembur. Kurasa itu hal yang biasa dan sah-sah saja. Akan tetapi, aku sama sekali tidak menyangka tentang muslihat yang ia rencanakan. Ia datang tepat sekitar pukul sepuluh malam. Saat itu sebenarnya pelanggan sudah tidak ada lagi. Namun aku mencoba menuruti, karena aku adalah bawahan dan pekerjanya.
"Sunyi, Dis?" tanyanya setelah keluar dari sedan yang dibawanya.

"Iya, pak. Sejak pukul sembilan tadi."

"O ya, Tanti dan Rika, sudah boleh pulang." katanya sembari tersenyum kepada dua orang rekan kerjaku. Aku menangkap gelagat aneh dalam dirinya. Mengapa cuma mereka yang disuruh pulang, namun kucoba untuk berpikir baik.

"Bagaimana penjualan kita hari ini, Dis?" ia kembali bertanya sambil menatapku tajam.
"Lumayan, pak." jawabku singkat.

"Ya sudah, kamu sudah boleh tutup sekarang." katanya sambil berjalan ke arah dalam.
Tanpa menjawab langsung saja kurapatkan pintu. Sebenarnya aku sedikit ketakutan. Ketika aku mengambil tasku, aku merasa ada yang aneh. Ada tangan yang merangkulku dari arah belakang. Ketika kulihat, Pak Yori berdiri dengan telanjang dada. Kini ketakutanku semakin menjadi-jadi.
"Bapak mau apa?" tanyaku gemetaran.
"Ayolah, Gadis..., tak usah malu-malu. Kemari..." katanya terus mendekatiku.
"Jangan pak, jangan..., istighfar...!"
Ini lebih mengerikan. Ia mengeluarkan sebilah belati. Seraya mengancamku.
"Kalau kau tak mau melayaniku, maka belati ini yang akan tertancap di tubuhmu."
Aku tak dapat berbuat apa-apa. Terlebih-lebih ketika perutnya yang buncit menindih tubuhku di bawah lampu pijar yang tidak bercahaya dan malam yang sudah tidak berpenghuni. Seketika aku merasa sakit yang sangat. Aku tak tahu entah apa yang terjadi. Aku hanya bisa pasrah. Aku menangis di tengah malam yang mulai hening. Pak Youri berdiri dan memberikan pakaianku.
"Saya antar kamu pulang. Pakailah pakaianmu!" suruhnya lembut. Aku hanya membalas dengan anggukan.

Di perjalanan pulang ia berpesan supaya aku tidak bercerita kepada siapapun tentang peristiwa ini. Ya, pasti aku tidak akan bercerita. Abangku bekerja padanya, begitu juga aku. Hidup kami sangat bergantung padanya. Lain lagi ayahku yang sedang sakit. Apa jadinya kalau mereka semua tahu tentang musibah yang menimpaku. Karena itulah selama ini aku menutupi tentang aku si gadis yang bukan gadis.

Tak berapa lama setelah kejadian itu, kuputuskan untuk pulang dengan alasan ayah yang sedang sakit. Abangku memberikan ijin. Namun dia masih berharap aku kembali ke ranah minang ini.
Aku memilih perjalanan Padang-Medan. Berharap aku bisa menemukan sedikit kebahagiaan di sana. Benar, Maul tengah berada di sana. Aku tak tahu apakah ini hanya kebetulan semata atau memang sudah takdir dan ketentuan tuhan, aku tak pernah bisa membedakan dua peristiwa itu. Begitu juga dengan semua yang terjadi dalam hidupku.

Malam itu begitu dingin. Persis saat pertma kali aku dan Maul bertemu di beranda ini. Aku melihat wajahnya sedikit berbeda dari dulu yang kukenal. Tampan. Tutur sapanya juga lebih lembut dan sopan. Aku bahagia, namun juga berduka. Aku merasa takkan pernah mungkin melihat senyum itu lagi. Aku sudah tak suci. Pasti sulit baginya jika aku yang harus jadi pendampingnya, si gadis bukan gadis.

Sejak saat itu kuputuskan meninggalkannya. Ia sangat terpukul. Berulang kali ia memohon padaku, sampai akhirnya ia lelah. Dan akhirnya ia mendapatkan undangan dariku. Sejak saat itu aku tak pernah melihatnya lagi. Ia kirim setangkai mawar putih. Di sana ia tuliskan pesan, "Datanglah jika kau mau. Namun, bila saat ini kau harus jauh, aku akan setia menanti dan menjaga perasaan ini untukmu, dan hanya untukmu. Atau bila kau ingin menemui dan mencari cinta sejatimu, maka pergilah temukan. Tetapi, bila kau tak menemukannya, aku ada di sini, kembalilah!!!"

Aku masih sangat ingat. Hingga ketika kesunyianku datang, ia akan berkata, "Teruslah merajut air mata, tetapi untukku dan untukmu. Sebelum ajal tiba, kau tetap merajut air mata di atas kebahagiaan kita." Sungguh manis dan pilu. (Penulis adalah mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Medan. Saat ini bergiat di Komunitas Tanpa Nama (Kontan).