Minggu, 27 November 2011

Gadis Perajut Air Mata


Oleh: Rudiansyah Siregar
(Harian Medan Bisnis)
BGaul Minggu, 03 Jul 2011 10:52 WIB


Aku masih menangis dan akan terus menangis. Bagiku hanya air mata yang bisa memahami dan mengerti tentangku. Tentang perempuan hina yang tiada arti di mata kaum lelaki. Kini tak henti kurajut air mata untuk kujadikan selimutku dalam kesendirian dan kehinaan ini. Biarlah air mata, dan hanya air mata yang akan kujadikan sahabat sejati dalam hidupku yang tiada tentu arah dan tujuan lagi.

Mereka, lelaki hanya tahu kejelekan kaum hawa, tanpa pernah berpikir tentang kebaikan apa yang sudah mereka perbuat. Seperti aku, yang dicampakkan suamiku. Aku disepak dari atas ranjang di malam pengantin.

Aku memang gadis, tetapi tidak gadis. Itu karena ayah dan ibuku memberiku nama Gadis Ayu Dinamita, sehingga orang-orang memanggilku gadis, sekalipun aku bukan lagi seorang gadis.

"Brengsek!" katanya sambil berdiri dan menendangku. Tak hanya sampai di situ, pukulan tangannya yang kekar pun berkali-kali mendarat di tubuhku. Layaknya orang yang kerasukan, ia terus menghantamku tanpa belas kasih.

"Pergi dari sini!"
Sejak itulah aku menjadi gadis penikmat sepi dan perajut air mata. Laki-laki terlalu munafik. Mereka terlalu menganggap dirinya suci. Padahal mereka juga yang telah menyebabkan banyak perempuan menderita.

Kini aku menyandang status janda, namun aku tetaplah gadis, seperti biasanya. Padahal dari awal aku sudah memperingatkan Parlin, mantan suamiku, bahwa ia akan menyesal jika menjadikanku sebagai istrinya. Mulut manisnya tersenyum dengan berkata, "Aku siap menerima kelebihan dan kekuranganmu. Apa pun adanya aku telah siap menjadikanmu pendamping hidupku."

Manis bukan? Itulah lelaki. Padahal aku sendiri tidak tahu apakah ia masih perjaka atau tidak. Bisa saja ia sudah berbuat berkali-kali, tapi siapa yang tahu. Mereka tidak memiliki tanda-tanda, hanya itu saja perbedaannya.

Bukankah setiap manusia memiliki masa lalu yang suram, dan itu semua tentu punya alasan tersendiri. Manusia bukanlah malaikat ataupun nabi yang maksum dari segala perbuatan dosa. Manusia tak ada yang sempurna.

Hanya karena aku gadis yang bukan gadis, apakah sepantasnya lelaki itu mencampakkan dan menghinaku? Di mana sebenarnya hakikat cinta. Apakah pada kemolekan dan keindahan tubuh, atau pada hati yang terpatri. Atau pada gadis. Sejujurnya kukatakan, ini bukan kesalahanku. Lelaki sulit memahami.

Ini berawal waktu ketika aku menyelesaikan pendidikan menengah pertamaku di Kota Medan. Saat itu aku tinggal bersama saudara perempuan tertua ayahku. Kebetulan ia tidak memiliki anak, hingga ia rela membiayai sekolahku bahkan sampai ke perguruan tinggi bila aku mau. Setelah tamat, orangtuaku memintaku untuk kembali ke tanah bertuah Sultan Abdul Rahman Muadzam Syah di Kota Panipahan, Riau. Sebenarnya Uakku (sudara perempuan ayahku), memintaku untuk tetap tinggal bersamanya di tanah Patimpus ini untuk melanjutkan. Akan tetapi, orangtuaku tetap tidak setuju dan memintaku pulang dan bersekolah di tanah melayu, dan itu tercapai.

Sangat banyak kenangan yang kutinggalkan dan yang terlupakan. Di sana dulu, di sudut kota Pattimpus. Pernah aku mengukir berjuta kenangan. Tentang mimpi, bahkan cinta. Di sanalah pertama kalinya hatiku kulabuhkan. Pada seorang pria, mungkin saat ini ia entah di mana, aku tidak pernah lagi tahu kabarnya setengah dasarsa silam. Kurasa hidupnya pasti bahagia. Atau mungkin saja, ia tengah melanjutkan perjuangannya. Sebab terakhir kali kudengar ia merantau melanjutkan pendidikannya. Ia sangat berkarakter, tampan, dan yang paling membuatku bangga adalah dia begitu pintar. Terbukti peringkat satu yang disandangnya selama bersekolah. Selain itu, ia pandai bermain piano. Suaranya juga merdu, kalau saat ini mirip dengan Christian Bautista penyanyayi dari Pilipina itu, bahkan parasnya tidak jauh berbeda. Ia juga terampil dan tangkas dalam bermain bola kaki, bulutangkis, dan renang. Itu terbukti dengan beberapa kali ia mendapat penghargaan dalam berbagai bidang itu. Masih banyak lagi kebanggaanku tentangnya, tetapi takkan cukup jika kuceritakan melalui kisah ini.

Lelaki itu begitu perfect bagiku. Dan saat itu, bukan hanya sekedar cinta monyet, menurutku. Karena aku benar-benar sayang bahkan setia padanya. Hanya mungkin tuhan tidak menakdirkan kami bersama. Andai dulu tuhan bertanya padaku tentang perihal siapa yang akan menjadi suamiku, maka dengan tegas aku akan menjawab, "Adrian Maulana," karena memang dia lelaki yang paling aku sayang, begitu juga sebaliknya saat itu. Kurasa, tak mungkin lagi ia mau kembali mengulang cerita seperti dulu, apalagi bila ia tahu tentang diriku yang sekarang. Gadis, bukan gadis lugu yang dikenalnya dahulu.

Masih kukenang perpisahan kami malam itu. Ketika ia menyatakan janji setia bersamaku. Tak peduli seluas apa jarak yang akan terbentang di hadapan kami. Dan aku menyanggupi.
Masa-masa awal sekolah, komunikasi kami masih berjalan baik. Ia masih sering berbagi kabar via telepon, begitu juga aku. Kami mulai renggang komunikasi, saat saudara laki-lakiku memintaku untuk sekolah di Padang. Di sinilah awal-awal kehancuran dalam hidupku. Pihak sekolah lamaku tidak mau memberikan surat pindah padaku. Akhirnya, terpaksa aku harus menunggu selama satu tahun di ranah minang.

Dalam waktu menunggu itu, aku bekerja di sebuah ponsel cabang milik teman abangku. Semua kulakukan berharap kejenuhanku bisa hilang sekaligus menambah pengalaman. Pemiliknya adalah teman sekaligus bos perusahaan tempat abangku bekerja.

Sampai pada suatu malam. Bosku menyuruhku lembur. Kurasa itu hal yang biasa dan sah-sah saja. Akan tetapi, aku sama sekali tidak menyangka tentang muslihat yang ia rencanakan. Ia datang tepat sekitar pukul sepuluh malam. Saat itu sebenarnya pelanggan sudah tidak ada lagi. Namun aku mencoba menuruti, karena aku adalah bawahan dan pekerjanya.
"Sunyi, Dis?" tanyanya setelah keluar dari sedan yang dibawanya.

"Iya, pak. Sejak pukul sembilan tadi."

"O ya, Tanti dan Rika, sudah boleh pulang." katanya sembari tersenyum kepada dua orang rekan kerjaku. Aku menangkap gelagat aneh dalam dirinya. Mengapa cuma mereka yang disuruh pulang, namun kucoba untuk berpikir baik.

"Bagaimana penjualan kita hari ini, Dis?" ia kembali bertanya sambil menatapku tajam.
"Lumayan, pak." jawabku singkat.

"Ya sudah, kamu sudah boleh tutup sekarang." katanya sambil berjalan ke arah dalam.
Tanpa menjawab langsung saja kurapatkan pintu. Sebenarnya aku sedikit ketakutan. Ketika aku mengambil tasku, aku merasa ada yang aneh. Ada tangan yang merangkulku dari arah belakang. Ketika kulihat, Pak Yori berdiri dengan telanjang dada. Kini ketakutanku semakin menjadi-jadi.
"Bapak mau apa?" tanyaku gemetaran.
"Ayolah, Gadis..., tak usah malu-malu. Kemari..." katanya terus mendekatiku.
"Jangan pak, jangan..., istighfar...!"
Ini lebih mengerikan. Ia mengeluarkan sebilah belati. Seraya mengancamku.
"Kalau kau tak mau melayaniku, maka belati ini yang akan tertancap di tubuhmu."
Aku tak dapat berbuat apa-apa. Terlebih-lebih ketika perutnya yang buncit menindih tubuhku di bawah lampu pijar yang tidak bercahaya dan malam yang sudah tidak berpenghuni. Seketika aku merasa sakit yang sangat. Aku tak tahu entah apa yang terjadi. Aku hanya bisa pasrah. Aku menangis di tengah malam yang mulai hening. Pak Youri berdiri dan memberikan pakaianku.
"Saya antar kamu pulang. Pakailah pakaianmu!" suruhnya lembut. Aku hanya membalas dengan anggukan.

Di perjalanan pulang ia berpesan supaya aku tidak bercerita kepada siapapun tentang peristiwa ini. Ya, pasti aku tidak akan bercerita. Abangku bekerja padanya, begitu juga aku. Hidup kami sangat bergantung padanya. Lain lagi ayahku yang sedang sakit. Apa jadinya kalau mereka semua tahu tentang musibah yang menimpaku. Karena itulah selama ini aku menutupi tentang aku si gadis yang bukan gadis.

Tak berapa lama setelah kejadian itu, kuputuskan untuk pulang dengan alasan ayah yang sedang sakit. Abangku memberikan ijin. Namun dia masih berharap aku kembali ke ranah minang ini.
Aku memilih perjalanan Padang-Medan. Berharap aku bisa menemukan sedikit kebahagiaan di sana. Benar, Maul tengah berada di sana. Aku tak tahu apakah ini hanya kebetulan semata atau memang sudah takdir dan ketentuan tuhan, aku tak pernah bisa membedakan dua peristiwa itu. Begitu juga dengan semua yang terjadi dalam hidupku.

Malam itu begitu dingin. Persis saat pertma kali aku dan Maul bertemu di beranda ini. Aku melihat wajahnya sedikit berbeda dari dulu yang kukenal. Tampan. Tutur sapanya juga lebih lembut dan sopan. Aku bahagia, namun juga berduka. Aku merasa takkan pernah mungkin melihat senyum itu lagi. Aku sudah tak suci. Pasti sulit baginya jika aku yang harus jadi pendampingnya, si gadis bukan gadis.

Sejak saat itu kuputuskan meninggalkannya. Ia sangat terpukul. Berulang kali ia memohon padaku, sampai akhirnya ia lelah. Dan akhirnya ia mendapatkan undangan dariku. Sejak saat itu aku tak pernah melihatnya lagi. Ia kirim setangkai mawar putih. Di sana ia tuliskan pesan, "Datanglah jika kau mau. Namun, bila saat ini kau harus jauh, aku akan setia menanti dan menjaga perasaan ini untukmu, dan hanya untukmu. Atau bila kau ingin menemui dan mencari cinta sejatimu, maka pergilah temukan. Tetapi, bila kau tak menemukannya, aku ada di sini, kembalilah!!!"

Aku masih sangat ingat. Hingga ketika kesunyianku datang, ia akan berkata, "Teruslah merajut air mata, tetapi untukku dan untukmu. Sebelum ajal tiba, kau tetap merajut air mata di atas kebahagiaan kita." Sungguh manis dan pilu. (Penulis adalah mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Medan. Saat ini bergiat di Komunitas Tanpa Nama (Kontan).


1 komentar: