Jumat, 27 Mei 2011

Pada Muharram Kutitiskan Airmata


Oleh: Rudiansyah Siregar
(Harian Waspada, 19 Desember 2010)
BULAN ini merupakan awal tahun buat kami. Bulan pertama tahun Hijriah. Disunnahkan memperbanyak amalan dan puasa. Sudah tiga hari belakangan ini ibuku sibuk membangunkanku di tengah malam untuk makan sahur. Aku tak mau. Puasa wajib saja kulewatkan, apatahlagi puasa sunnah.
Agama bukan lagi kajianku. Aku hanya ingat uang dan menghafal nama-nama pahlawan di setiap lembarnya mulai dari nilai terkecil sampai yang terbesar. Nomor serinya pun kadang tak lekang dari benakku. Warna merah-merah dan biru itu adalah teman hidupku. Bersama mereka aku mendapatkan segala yang ku mau.
“Besok dan hari-hari selanjutnya kamu cuti. Kamu kerja di rumah saja.” Sambil tersenyum remeh bosku meletakkan amplop di hadapanku.
“Terimakasih pak.”
“Terimakasih kepalamu. Kamu saya pecat. Saya tidak butuh karyawan sepertimu. Sekarang kamu bebas dari semua pekerjaan.” Mukanya memerah seketika.
“Kenapa begitu pak? Apa salah saya? Bukannya selama ini saya telah menunjukkan loyalitas saya terhadap perusahaan ini?” Saya kan karyawan berprestasi di sini.”
“Sudahlah. Saya sudah tahu semua permainanmu Rahmat. Keluar dari ruangan saya sekarang!” Dengan geram ku tinggalkan ruangan si brengsek itu. Hatiku dongkol namun  aku tak dapat berbuat apa-apa.
“Ini pasti si Johan yang memberi tahu. Awas kau Johan.” Sambil ku kepal-kepal tanganku saat keluar dari kantor menuju mobilku.
Ku injak pedal gas dalam-dalam sampai mobilku terasa terbang di atas aspal. Gigiku sedari tadi tak lepas-lepas ku rapatkan. Hampir saja aku menabrak truk yang datang dari depanku saat aku menyelip bus kota dalam kecepatan tinggi.
“Mau mati kau setan?” Supir truk itu berteriak kuat.
Aku tak peduli. Kini kecepatan semakin meninggi. Deru mesin seperti menjerit di tengah jalan raya yang panas. Satu demi satu ku lalui kendaraan di depanku. Sepertiga dari waktu biasanya aku telah tiba di rumah. Ku parkir mobil di halaman dan langsung aku masuk ke rumah tanpa permisi. Cepat-cepat aku berjalan menuju kamar. Tiba-tiba ibu datang dari dapur dan melihatku.
kok Cepat pulang Mat?”
“Iya buk.” Langsung ku masuk kedalam kamar dan mengunci pintunya.
Ibu keheranan. Pasti saat ini ia sedang menduga-duga apa yang terjadi padaku.
“Brengsek..., AKH...” Ku lemparkan gelas yang berada di dekatku ke dinding. Pecahannya berserakan di lantai. Ibu yang mendengar semua itu langsung mengetuk-ngetuk pintu kamarku.
“Rahmat..., Rahmat. Buka pintunya!” Berkali-kali perempuan tua itu memanggil-manggil, namun tak ku hiraukan sedikitpun sampai akhirnya aku tertidur di atas lantai.
Pukul sembilan malam aku terbangun karena perutku terasa lapar. Ku keluar dari kamar mencari ibu. Pintu kamarnya yang tidak terkunci ku dorong pelan-pelan. Telekung putih masih menyelimuti tubuhnya di atas sajadah. Lantunan ayat-ayat tuhan masih berkumandang menyeruak seisi rumah. Aku sudah sangat lapar, namun ibu masih saja berdiam di sana.
“Bu.” Ibu tak mendengar suaraku.
“Ibu.” Suaraku keras. Akhirnya ibu berhenti mengaji dan menanggalkan mukenanya kemudian meletakkan Al-Quran di atas tempat tidurnya.
Ibu sudah mengerti maksudku. Di meja makan ia menanyai aku. Namun aku tetap tak mau menceritakan problema yang sedang ku hadapi. Ibu terus memaksa.
“Bu, jangan mencampuri urusanku. Urus saja urusan ibu sendiri.” Aku langsung pergi meninggalkan ibu menuju kamar.”
Terlihat guratan kekecewaan di wajah ibu. Dua tetes airmatanya langsung terjatuh setelah perkataanku. Namun tak pernah aku menghiraukan hal itu. Dari dulu pun tak jarang ia seperti itu karena ulahku. Apalagi setelah ayahku meninggal dalam kecelakaan pesawat 10 tahun lalu.
Usiaku sudah menginjak angka 30. Aku belum mau berkeluarga. Aku tau ini di haramkan agama. Bagiku hukum menikah itu sudah wajib. Usiaku sudah lebih dari cukup untuk berumah tangga dan aku telah sanggup menafkahi keluarga. Hal-hal yang di khawatirkan agama itu pun sudah menjadi rutinitasku. Aku mengetahui agama secara mendalam, hanya saja aku merasa belum waktunya untuk itu.
Malam ini terasa dingin. Tidur pun terasa sangat nikmat. Masalah-masalah yang melandaku hilang di telan malam yang semakin terlelap. Belum puas ku rasa menikmati malam, tiba-tiba saja ibu membangunkanku untuk makan sahur sekaligus shalat shubuh.
“Bu, berapa kali aku harus bilang. Urus saja urusan ibu. Sahur, puasa, shalat, persetan dengan itu semua.” Airmata ibu mengucur deras di tengah malam hening. Ia keluar dari kamarku sambil menghapus airmata dengan jari-jarinya.
Aku kasihan pada ibu. Aku sangat menyayangi ibu. Dia telah banyak berkorban untukku. Sejak ayah meninggal ia telah merangkap dua posisi itu untukku. Terkadang aku tak bisa menahan amarahku  hingga memecahkan kapsul airmatanya.
Pagi-pagi sekali aku pergi dari rumah. Aku tak mau ibu menjadi korban dari masalah yang ku hadapi. Ku tinggalkan sepucuk surat permohonan maafku di depan pintu kamar ibu.
Seharian aku melanglangbuana di jalanan. Langit petang yang tadinya merah saga kini telah hilang di telan kegelapan malam. Ku bergerak menuju tempat hiburan malam yang biasa ku kunjungi. Bartender sedari tadi masih setia melayaniku. Ini minuman entah gelas keberapa yang ku tegup. Di sana ku lihat Johan sedang asyik bersama para wanita-wanita cantik. Kiri-kanan dua wanita setia menyulangkan minuman untuknya.
Dia adalah orang yang membuat hidupku menderita, karena ulahnya juga aku jadi durhaka terhadap ibu kandungku. Saat bartender itu merunduk mengambilkan minuman untukku, aku pergi secepatnya sambil membawa sebuah botol kosong. Ku pecahkan botol itu hingga membentuk seperti obor patung liberty. Dengan sedikit sempoyongan, ku bejalan mendekati Johan. Ku sembunyikan pecahan kaca itu di balik jaketku. Aku berdiri di hadapannya. Dia kaget dan langsung berdiri. Tak sempat ia berbicara, pecahan botol yang tajam berkilat itu telah tertanam di perutnya yang buncit. Darah merah memuncrat deras dan bercucuran di lantai. Wanita-wanitanya menjerit histeris. Aku lari secepatnya keluar. Karena menghindari kejaran petugas keamanan dan orang-orang, aku lari sekencang mungkin. Dengan pemandangan yang berkunang-kunang ku coba menyeberangi jalan raya dengan berlari. Sebuah mobil sedan  langsung menghantam tubuhku. Aku terlempar entah dimana.
Aku di bawa ke rumah sakit. Kondisiku kritis. Ibuku menangis dan terus-menerus membisikkan kalimat “Lailaahaillallaah” di dekat telingaku.
Di sampingnya aku sedang sakaratulmaut. Tetapi aku tak bisa melafalkan kalimat singkat yang telah berulang-ulang ia alunkan. Bibirku terasa kelu. Lalu aku katakan padanya “Ibu, aku melihat ayah.”

 Sketsa KONTAN, 14 Desember 2010



Tidak ada komentar:

Posting Komentar