Jumat, 27 Mei 2011

Perempuan Penanti Di Musim Penghujan

Oleh : Rudiansyah Siregar
(Waspada, 5 Desember 2010)

Hujan mengguyur bumi yang gersang. Pepohonan menari riang ditiup angin dan tamparan hujan. Air pun meresap melewati pori-pori tanah yang telah kopong karena lama sudah kemarau bertapa. Musim ini merupakan musim yang dinanti-nantikan banyak orang, tidak terkecuali Mira.

“Musim hujan nanti abang pasti pulang, abang berharap Dek Mira sabar menunggu. Di sana nanti abang kan temui ayahmu. Abang akan katakan padanya untuk melamarmu.” Tiba-tiba wanita itu teringat lirik sendu yang pernah dilantunkan seorang lelaki padanya tiga bulan lalu. Ia tersentak dari lamunannya, lalu ditutupnya jendela tempatnya memandangi hujan sedari tadi. Ia berlari dan berteriak
“Mak…, mamak…. Bang Reihan sebentar lagi pulang…,” ia pun memeluk ibunya sangat erat.
“Apa-apaan nya kau ini bujing (sebutan untuk anak perempuan batak ), tak bisa aku bernapas kau buat.” Ia tak menghiraukan ibunya, ia terus mengguncang-guncang tubuh wanita tua itu.

Tiba-tiba Mira terdiam, kegirangannya hilang seperti ditelan bumi. Ia tak berkutik sedikit pun. Kembali di hampirinya jendela tempat bermenungnya itu dan dibukanya lagi.
“Ha, mengapa pula kau sudah? Tadi gembiranya kau ku tengok.”
“Iya mak.”
“Jadi?”, saut ibunya dengan heran.
“Apa mamak tak ingat kalau ayah tak pernah suka dengan bang Reihan?” Ibunya hanya mengangguk-angguk pelan.

Saban hari perempuan itu pergi ke pelabuhan. Tetapi yang dinanti tak kunjung jua datang. Sudah seminggu ini ia setia menunggu kapal-kapal yang singgah, berharap si Dia kan datang membawa cinta, namun entah dimana cintanya itu tertambat hingga sekarang tak kunjung tiba.

Hari ini akhir pekan kedua, perempuan itu tetap semangat pergi ke pelabuhan. Seperti hari-hari sebelumnya ia yakin bahwa sang kekasih akan kembali hari itu. Ia berdiri sambil menatap jauh ke laut lepas. Sudah berpuluh-puluh kapal yang singgah hingga sore ini, tetapi tidak ada sosok Bang Reihan yang ia temukan.
 Menjelang senja terdengar kabar  bahwa sebuah kapal yang mengangkut sekitar 300 orang penumpang tenggelam di Tanjung Siapi-api sore ini. Informasi yang berkembang, hanya sepuluh orang penumpang yang selamat. Saat ini sedang dilakukan proses evakuasi di tempat kejadian. Seluruh korban akan di bawa ke tempat ini besok.

Pikiran Mira sangat kacau. Ia merasa ada pertanda buruk. Betapa tidak, semenjak pergi bang Reihan tiada kabar sampai sekarang. Nomor handphone tiada aktif, dan tiada teman-temannya yang tau tentang kabarnya. Sekarang sudah saatnya pulang, kekasih hatinya itu tak sampai-sampai juga.

Malam sangat dingin. Hujan menghantam atap rumahnya. Suara pepohonan riuh mengaum karena tiupan angin yang sangat kuat. Wanita itu duduk di dekat jendela kamarnya sambil melihat-lihat bunga yang basah disiram hujan. Tiba-tiba ia tersentak ketika telepon genggamnya berdering. Ia hampiri tempat persegi kecil itu dengan perasaan cemas. Perlahan diangkatnya,
“Halo, Assalamualaikum…”
Waalaikum salam…” terdengar suara gemetar dari dalam kotak kecil itu. Mira sangat mengenal suara itu. Airmatanya langsung memancar.
“ Bang Reihan…”, terka Mira.
“Iya dek…” suara lelaki itu parau.
“Kapan abang pulang, Mira rindu dengan abang. Abang tega tinggalin Mira tanpa kabar,” sambil menangis terisak.
“Maafkan abang Mir, abang tidak bermaksud begitu. Semua itu sudah ketetapanNya. Abang janji akan menepati janji-janji abang padamu. Abang pulang dan menemui ayahmu tuk mengatakan abang ingin melamarmu. Walau pun abang tau itu tak mungkin lagi, abang sudah pasrahkan padaNya.
“Janganlah berkata begitu, abang usaha lah dulu. Abang sedang dimana?”
“Dalam perjalanan pulang, besok pagi sudah sampai.” Suara itu pun raib begitu saja bersamaan suara petir yang menyambar dan handphone Mira terlepas dan jatuh berserakan di lantai.

Ia tak memperdulikan itu lagi. Ia tutup jendela kamar, dan lansung berbaring diatas kasur sambil menghayalkan saat-saat indah yang akan dirasakannya besok. Saat dimana ia akan melayarkan kerinduan dalam bantera pertemuan. Akan memeluk sang kekasih erat-erat di pelabuhan, tak perduli banyak orang yang memandang. Aduhai…

Pagi itu Mira bangun cepat sekali. setelah shalat shubuh ia langsung membereskan pekerjaan di rumah. Menyiapkan sarapan untuk ibu dan ayahnya. Tanpa pamit ia langsung bergerak menuju pelabuhan. Hari masih belum begitu terang perempuan itu sudah tiba di pelabuhan. Tetapi sayang, dia bukan orang pertama yang tiba di tempat itu, mungkin orang yang terakhir. Ribuan jiwa telah menyesaki pelabuhan di pagi yang dini itu. Kerumunan masa memanggil hatinya ikut menghampiri. Isak tangis pun menyambut kedatangan sang surya. Perempuan itu memandangi mayat-mayat yang telah tersusun rapi satu demi satu. Tiba-tiba, ia terhenti ketika menatap seonggok raga yang sudah tak terkenali lagi. Jasad lelaki yang mirip sekali dengan sang kekasih. Ia tepis pikiran itu karena ia ingat tadi malam ia masih di telepon sang kekasih.

Mira masih setia menanti di pelabuhan. Seperti biasanya ia tak jua menemukan yang dinantinya dari sekian banyak kapal yang singgah. Hari sudah mulai gelap, ia pulang di tengah gerimis dengan perasaan kecewa. Tetapi keyakinan akan bertemu masih kuat didalam batinnya. Ia yakin, Reihan pasti akan pulang.

Setibanya di rumah murungnya hilang. Ibunya menyampaikan bahwa tadi Reihan datang menemui ayah dan menyatakan melamarnya.
“Lho, Mira tidak lihat.”
“Pelabuhan itu kan luas, mungkin kau tak melihatnya.”
“Ayahmu masih saja menolaknya dan mengatakan takut kalau kau nanti akan diterlantarkan. Seperti biasa, Reihan di usir ayahmu.

Mira tak perduli ayahnya menerima Reihan atau tidak, yang ia tahu hanyalah Reihan telah pulang dan menepati janji-janjinya. Perempuan itu langsung masuk kekamarnya. Ia tak sabar ingin bercerita kepada gerimis yang telah menjadi hujan deras. Dalam lamunannya ia terkejut ketika suara lelaki menyapanya di depan jendela.
“Mira..”, suara parau itu terdengar lagi. Kali ini Mira berhadapan langsung dengan pemiliknya.
Ia melihat Reihan berdiri di tengah hujan. Reihan terlihat menggigil kedinginan. Wajahnya pucat disertai bibirnya gemetar dan membiru. Tanpa pikir panjang Mira langsung keluar melompat dari jendela berharap ia dapat memeluk lelaki pujaannya itu. Langkahnya terhenti ketika Reihan berkata “ Jangan Mira! Jangan dekati aku, jangan sentuh aku! Aku sangat menyayangimu. Tetapi kita tak mungkin bersama karena kita berbeda. Aku tak mungkin lagi mencintaimu. Aku bahagia mengenalmu. Ku harap kita bisa bertemu di lain waktu. Aku harus pergi lagi”
 Lelaki itu mundur sambil menangis ditengah hujan. Mira hanya dapat berkata “Jangan pergi bang, jangan tinggalkan Mira lagi.” Lelaki itu tetap pergi dan menghilang di kejauhan.

Siangnya Mira mencari tahu keberadaan Reihan. Ia mengunjungi rumah Reihan di kampung sebelah. Sesampainya disana ia kembali dilanda keheranan. Betapa tidak, suasana duka menyelimuti rumah Reihan. Ia masuk perlahan-lahan ke dalam. Disana ia mendapati ibu Reihan yang menangis. Mira langsung menghampiri dan memeluk ibu Reihan dengan keheranan.
“Ibu, siapa yang meninggal?” tanyanya semakin penasaran sambil menangis.
Ibu Reihan tak dapat menjawab pertanyaan bintang hati anaknya itu. Mira berani kan membuka kain penutup mayat dihadapannya. Ia tersentak, mayat korban mirip Reihan yang dilihatnya semalam di pelabuhan menjadi sumber duka keluarga kekasihnya. Saat itu Mira pingsan. Ya, Reihan salah satu korban tewas dari tragedi kemarin.  Tapi apakah mungkin?

Setelah siuman ia langsung pulang ke rumah dan mencari telepon genggamnya yang sempat jatuh berserakan ketika mendengar suara petir menyambar saat Reihan meneleponnya. Beruntung handphone itu masih dapat menyala. Ia lihat daftar panggilan masuk malam itu, tapi sayang semua daftar panggilan telah kosong.

Esok harinya Mira pun masih setia menunggu kedatangan kekasihnya di pelabuhan itu. Begitulah ia dalam keyakinannya. Ia masih setia menanti Reihan di setiap musim penghujan sampai akhir hayatnya.


                                                                                             Sketsa KONTAN, 26 November 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar