Selasa, 13 Desember 2011

Sabit Merah Rebah Dipelukan (Medan, 1953)

Cerpen Harian Analisa (Rabu, 14 Desember 2011)
Oleh : Rudiansyah Siregar
 http://www.analisadaily.com/news/read/2011/12/14/26104/sabit_merah_rebah_dipelukan_medan_1953/#.TugEcFb3A_4


Sabit Merah Rebah Dipelukan (Medan, 1953) 
Malam begitu mencekam. Persis saat 58 tahun silam ketika aku harus menuai airmata sebagai teman kehidupan. Saat aku harus kehilangan semua yang kusayang demi tanah air dan kota tercinta ini. Aku adalah Medan, saat ini dan saat nanti. Saat sabit merah rebah di pelukanku. Aku percaya pada karma.
"Kota ini warisan leluhurku. Tak kubiarkan seorang pun merampasnya dari tangan Guru Patimpus, Tuanku Pulo Brayan."

Dan Carolina yang tidak bersalah harus menjadi pelampiasan kemarahan bandit-bandit anti pemerintahan, musuh-musuh bebuyutanku. Karena ketidaksediaanku untuk berkhianat pada A.M. Jalaluddin, walikota saat itu, mereka menculik istriku dan membuangnya entah kemana, tak pernah ketahuan di mana terakhir kali jejaknya tertapak. Akan tetapi, bagiku hanya ada satu cinta untuk selamanya. Dan aku akan menunggu perempuanku walau penantianku akan sia-sia. Tapi aku puas karena hidup dengan ketegasan janji dan keteguhan hati. Dan kulalui dengan satu ceret kopi setiap malamku.

Aku seolah paham akan arti bulan sabit merah malam ini. Tapi, biarlah kuserahkan pada yang kuasa sebagai penentu jalan kehidupan manusia. Semua yang terjadi pasti atas kehendak-Nya.

Di sisi lain, aku sangat galau. Tak biasanya Jauhari belum datang jam segini. Biasanya kami sudah mengembara jauh dalam cerita di malam selarut ini. Mudah-mudahan ia baik-baik saja.

***

Ini malam benar-benar mencekam. Sabit merah semakin mengental di awal malam. Rintik-rintik hujan seakan menambah degup jantungku yang menggelegak. Ya, sudah sewajarnya setiap perbuatan mendapatkan ganjaran yang setimpal. Hutang nyawa harus dibayar nyawa, hutang darah harus diganti dengan simbahan darah pula.

Kusingsingkan lenganku. Kutempuh jalanan dengan penuh keyakinan. Perlahan kuraba belati yang kuikatkan di pinggang. Aku berhenti ketika berada di depan sebuah rumah bertingkat dan megah. Lampu-lampu taman di dalamnya terlihat memata-mataiku. Namun ia diam ketika melihat kilapan yang terpancar dari belati berbentuk sabit di tanganku.

Pelan-pelan aku mendekati rumah Jarot. Tak berapa lama aku telah berada dalam rumah megah itu. Sementara di luar sana hujan semakin menghantam keras, dan di sini kamar Jarot tidak terkunci.

"Selamat malam, Tuan Jarot!" sambil kukunci rapat pintu kamar itu.

"Siapa itu? Brengsek!"

Terdengar suara lompatan di kamar yang gelap. Seketika lampu menyala. Di hadapanku berdiri sosok lelaki berperut buncit memegang sebilah pisau. Ia berdiri di sudut ruangan. Sedang istrinya duduk ketakutan di atas kasur di tengah malam yang bermandikan hujan.

"Jangan mendekat! Jangan mendekat!" ucap laki-laki itu sambil mengacungkan pisau ke arahku.

Dengan cekatan aku meloncat ke atas kasur tempat istrinya berada. Tak sempat perempuan itu menjerit, lehernya telah tertodong oleh belatiku yang mengkilap oleh cahaya lampu.

"Jangan! Jangan! Ambil apa pun yang kau inginkan! Tolong jangan sakiti istriku! Kumohon…!"

"Kalau begitu, di mana istriku?"

"Maksudmu?"

"Jangan pura-pura bodoh, Jarot. Kaulah dalang penculikan istriku, bukan?"

"Damar…?"

"Ya."

Seketika ia terduduk. Menangis. Ia mengatakan bahwa istriku telah mereka lemparkan dari atas jembatan. Dan ia sendiri tidak tahu keberadaannya. Dia hanya terima bersih, ucapnya.

"Maafkan aku, Damar. Aku menyesali semua perbuatanku. Ampuni aku."

"Tak semudah itu, Jarot."

Tak berapa lama istrinya telah terguling di atas tilam. Darah bersimbah di tengah malam yang basah. Jarot berlari ke arahku dengan pisau di tangannya. Namun malang, pisauku lebih panjang hingga ia tersungkur di atas lantai. Lalu kubuka penutup wajahku. Tiba-tiba saja anak laki-lakinya melihat aku dari depan pintu. Bocah delapan tahun itu menangis histeris. Ia ikut menyaksikan ayah dan ibunya tergelimpang bersimbah darah tanpa nyawa dalam kondisi yang mengenaskan. Lalu kuberikan pisau yang berbentuk sabit itu padanya.

***

Setiap malamku kulalui dengan memandang rembulan. Aku menunggu Carolina. Dalam yakinku, ia pasti kembali walau kadang terbesit keraguan dalam tiap malamku. Namun aku tak pernah lelah. Biarlah kuhabiskan hidupku bersama malam, sebab darinya aku banyak belajar dan merenungi hidup.

Seperti biasanya Jauhari datang menemaniku di sini. Meneguk cangkir demi cangkir kopi hitam pahit sambil bercerita tentang kehidupan. Aku lupa entah kapan pertama kali aku mengenalnya, yang kutahu ia selalu datang tengah malam dan menceritakan segala masalahnya dan tak lupa meminta petunjuk dariku. Dan ketika azan subuh berkumandang, barulah ia pamit untuk pulang.

"Selamat malam, Pak Damar!" terlihat sosok lelaki gendut di halaman.

"Malam! Mari, mari minum kita. Ia duduk di hadapanku. Seperti biasa. Aku bercerita segala kisah hidupku. Hanya dialah orang yang kupercaya untuk berbagi semua cerita. Tak ada yang kulindungkan satu pun darinya. Dia sudah kuanggap seperti anak sendiri.

"Bagaiamana ceritamu hari ini, Jauhari?"

"Tak ada masalah. Aman-aman saja…"

"Hahahaha…," tawa kami pecah secara serempak di tengah keheningan malam.

"Jauhari. Selalulah berbuat yang baik. Karena balasan perbuatan itu selalu seperti apa perbuatan yang telah kita lakukan. Karma tuhan itu pasti adanya. Kau percaya itu?"

"Ya, aku sangat percaya itu. Karena kehidupan adalah apa yang kita perbuat. Bukan begitu, pak?"

"Betul itu…, sudah kau kuasai rupanya semua yang kuajarkan."

"Hahaha…!"

Namun selalu saja ada airmata yang tercurah di pipiku di sela-sela perbincangan kami. Ketika aku mengingat dan bercerita tentang Carolina. Istriku. Satu-satunya wanita yang kuijinkan menemani hidupku dan takkan ada lagi perempuan dalam hidupku sekalipun ia telah tiada, itu sumpahku. Sampai di usia 78 tahun aku masih tetap sendiri menjalani kehidupan. Tak pernah terlintas dalam pikiranku untuk mencari pengganti. Aku akan menunggunya sampai kopi pahit di dalam teko besar itu sudah tidak terasa lagi di lidahku. Dan mungkin sampai sabit merah rebah di pelukanku. Aku meyakini semua itu.

***

Suara jangkrik bercengkrama dengan pungguk yang sesungguk setelah hujan. Malam ini sedikit berbeda. Suasana terasa lebih dingin dari biasanya. Musim penghujan. Di tempat biasa aku duduk menunggu Jauhari datang, dan kali ini sambil berbaring. Aku sangat panik. Secara tiba-tiba Carolina berdiri di hadapanku. Tapi anehnya, wajahnya tak berubah sedikitpun dari 58 tahun silam. Saat ia memasak untukku, saat ia mengambilkan pakaian, juga masih kulihat senyumnya ketika pertama kali aku memintanya untuk menjadi pendamping hidupku.

"Carolina…" ucapku pelan.

Ia hanya membalas dengan senyuman. Perlahan ia melepaskan genggamannya dan menjauh pergi sambil melambaikan tangan.

"CAROLINA…!" teriakku terhenti ketika gelas yang berisi kopi pahit terjatuh dan berserak di lantai. Aku terbangun.

"Ternyata mimpi" pikirku.

Mataku tertuju ke halaman yang kini bermandikan hujan sejadi-jadinya. Tapi, bukan itu yang membuatku merasa aneh. Aku melihat sosok lelaki berdiri bermandikan hujan. Kuamati dalam-dalam dan aku mengenalinya.

"Jauhari!" ucapku.

Ia tak menggubris. Perlahan ia mendekat dengan tatapan berang ke arahku. Namun yang lebih mengejutkan ketika ia mengeluarkan pisau berbentuk sabit dari punggungnya. Pisau itu mengkilat. Ia berdiri tepat di hadapanku.

"Kau percaya pada karma?" tanyanya.

"Ya, aku sangat yakin adanya."

"Kau telah memberikan pisau sabit ini, dan sekarang kukembalikan padamu."

Dan kini sabit benar-benar merah di pelukanku. Lalu kutatap langit. Ia juga memberikan gambaran sama, sabit telah merah di pangkuanku dan di pangkuan langit.

Sketsa KONTAN, April 2011
Renungan di bawah bulan sabit

Minggu, 27 November 2011

Hilangnya Kampung Tarondam


Oleh: Rudiansyah Siregar
(Harian Waspada, September 2011)

Cahaya menerangi dari ujung ke ujung kampung. Pada tiap-tiap tiang listrik, terpasang lampu neon menerangi di sepanjang jalan. Di kiri-kanan jalan berjejer rapi rumah-rumah panggung penduduk beratapkan seng, ada juga beberapa rumah yang masih beratapkan rumbia. Jarak masing-masing rumah hampir sama, sekitar lima sampai enam meter. Suasana begitu luas terasa untuk memandang. Hingga di kejauhan, sampai ke belakang rumah-rumah warga meskipun ini sudah lewat tengah malam.
Suasana begitu hening dan tenang. Kuhentikan sejenak perjalanan. Sembari melihat-lihat dan mengingat kembali memori limabelas tahun silam. Tidak ada yang sama menurutku. Di kiri-kanan jalan tidak ada pohon-pohon karet yang menjulang, tidak ada rumput sepinggang, atau rumah-rumah yang tersembunyi di balik pepohonan. Bahkan, jalan yang sedang kulalui ini bukanlah jalan kampung yang belum berlapiskan aspal. Mungkin aku salah alamat. Tapi, mengapa aku bisa berada di tempat ini dengan alamat yang kubawa. Alamat yang diberikan ayah seminggu yang lalu.
Lama aku terpatung seakan tak percaya apa yang terjadi. Kampung ini sudah begitu maju dan pesat. Ramai sekali. Mungkin karena ini sudah hampir subuh hingga keramaiannya tidak begitu terasa.
“Kampung Tarondam…”
Seseorang membuka pintu. Turun dari rumah panggung yang agak kecil tetapi tongkatnya lumayan tinggi. Mungkin terbuat dari kayu meranti, landas, pulai, maupun kayu jati. Sosok laki-laki berbadan kurus dan jangkung. Ia mengenakan sarung tanpa memakai baju. Laki-laki itu berjalan menuju badan jalan, ke arahku. Di hadapanku kini ia berdiri sambil menyeruput sigaret. Hingga pipinya terlihat lekuk karena kuatnya menghisap. Ia tersenyum dengan penuh keramahan.
“Ondak kamana ika, nak? Mancari rumah siapa?”
Inilah orang-orang peisir sejati, pikirku. Masih seperti dulu. Memiliki kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Tak harus kenal baru menyapa, tak meski kenal baru tersenyum. Luar biasa. Ucapan laki-laki itu membuatku yakin bahwa aku tidak salah alamat. Aku masih mengingat bahasa itu. Yang paling jelas adalah pelafalan konsonan “r” berbunyi “kh” seperti huruf arab. Aku pernah menjadi penuturnya meski aku tidak begitu mahir. Laki-laki yang menyapaku itu menggunakan bahasa melayu panai, “Mau kemana ini, nak? Mencari rumah siapa?” itulah yang baru saja ia tanyakan padaku.
“Mau ke rumah Nenek Saniah, pak.” kataku sembari menyunggihkan senyum.
“Ananda ini siapanya Nek Saniah?” laki-laki itu merubah bahasanya karena aku menjawab dengan bahasa Indonesia, bahasanya orang-orang kota, polisi, dan anak-anak di sekolah bagi mereka.
Bukan aku bermaksud sombong, hanya saja aku kurang lihai menuturkan bahasa yang tadi.  Mungkin karena sudah lama kutinggalkan. Sudah belasan tahun. Terakhir aku di sini sewaktu tamat sekolah dasar. Persis limabelas tahun yang lalu saat aku harus pulang setelah menyelesaikan pendidikan dasarku. Aku kembali ke Kota Medan, ke rumah ayah-ibuku. Saat itu, kampung ini masih dipenuhi semak belukar, hutan yang hijau dan alami, masyarakat yang beradat dan religius, serta tutur sapa yang bersahaja. Hal itulah sebenarnya yang membuatku datang berkunjung ke tempat ini.
“Saya. Cucunya, pak!” jawabku sambil mengulurkan tanganku.
Laki-laki itu mengulurkan tangannya. Akan tetapi, ia kelihatan sedang memikirkan sesuatu. Seperti penasaran. Ditatapnya dalam-dalam wajahku sambil ditempelkannya telunjuk di keningnya.
“Cucunya?” tanyanya kembali sambil mengernyitkan kening.
“ Iya, pak.”
“Siapa nama ayahmu?”
“Efendi, orang-orang biasa memanggilnya Pendi.”
“Oh…, anak Bang Pendi …!
 “Mari, mari, biar kuantar saja kau.”
Sepertinya aku mengenal laki-laki ini, laki-laki yang sedang menggandeng tanganku. Sambil bercerita panjang lebar. Ternyata benar, aku mengenalnya. Dia Incek Onah, ayahnya Si Amin, teman sekolahku dulu.
“Dimana sekarang Si Amin, Ncek?”
“Si Amin di Dumai. Dia sudah menikah.”
Masih seperti yang dulu, pikirku. Kebiasaan orang-orang pesisir adalah merantau dan berinduk semang. Hanya beberapa menit, kami tiba di depan sebuah rumah panggung, tetapi berbeda dengan kebanyakan rumah-rumah warga lainnya. Rumah ini tidak memiliki beranda. Selain tongkatnya terbuat dari batu, juga tidak memiliki tangga dan tidak tinggi. Hanya sekitar tigapuluh sentimeter dari tanah.
Sebenarnya hanya aku saja yang sudah begitu lama tidak ke sini. Ayah, ibu, dan saudara-saudaraku hampir saban tahun berhari raya di kampung ini. Itu karena sejak SMP hingga saat ini, aku belajar di Pulau Jawa. Dua tahun sekali pun belum tentu bisa pulang. Kampung ini bernama Gajah Mati, begitulah orang-orang asli sini menyebutnya – orang-orang melayu panai. Aku sendiri tidak tahu mengapa dinamai seperti itu. Mendiang kakekku sendiri mengatakan di sini tidak pernah ada gajah. Namun ada sebagian orang mengatakan bahwa di sini pernah ada gajah yang mati. Aku sendiri lebih suka menyebutnya Kampung Tarondam, yang dalam bahasa melayu panai artinya kampung yang terendam. Itu karena setiap lima hari di pertengahan dan di akhir bulan hijriah, air sungai naik hingga ke permukiman warga untuk beberapa jam saja. Tapi sekarang tidak lagi, karena air pasang tidak menjangkau tempat ini. Itu dulu, sewaktu rumah-rumah penduduk masih berada di sana, di tepian Sungai Berumun. Dan saat ini, semua sudah bergeser sedikit ke atas sini. Hal itulah yang membuatku merasa asing sejak pertama kali sampai. Benar-benar berbeda.
Ayahku menyuruhku menempuh pendidikan dasar di sini supaya aku bisa mendapatkan pemahaman agama yang baik sejak dini. Kampung Tarondam ini dikenal sebagai kampungnya orang-orang alim, orang-orang yang mengerti banyak tentang ilmu agama. Tidak ada satu pun ditemukan perbuatan-perbuatan maksiat. Bersih. Aku tinggal bersama nenek selama enam tahun. Selama itu pula aku belajar agama dengan baik. Itu terbukti dengan prestasi-prestasi keagamaan yang kuperoleh selama di tempat ini, di Kampung Tarondam yang penuh dengan kebersamaan.
***
Perlahan mega memudar. Kupersiapkan diri untuk mengulang kembali kenangan masa kecil yang penuh dengan warna-warna keimanan. Ternyata memang hanya kenangan yang kudapatkan, hanya bayang-bayang kejayaan Kampung Tarondam. Kampungku itu entah kemana hilangnya bersama semua penduduknya yang beradat dan religius.
“Nek, kenapa tidak ada lagi yang mengaji di tiap rumah seperti dulu?” tanyaku pada nenek yang baru saja melepas telekung yang membaluti tubuhnya.
“Jangan kau harap lagi itu. Untuk jadi obat, satu orang pun payah sudah kita dapatkan.”
Kata-kata nenek benar-benar membuatku terkejut. Apa sebenarnya yang melanda kampung ini. Kemana hilangnya Kampung Tarondam yang kudamba-dambakan itu. Mungkinkah ia hanyut terbawa air pasang yang naik dua masa setiap sebulan itu, mungkinkah ia tertimpa kemudian tertimbun pohon-pohon karet yang kini tidak kulihat lagi. Pohon-pohon pinang dan kelapa yang menjulang tempatku berlari, atau pohon-pohon jarak tempatku bersembunyi dulu bersama anak-anak yang diridai ilahi.
Ternyata semua tak sejalan dengan apa yang kuperkirakan sebelumnya. Ketika Incek Onah menyapaku semalam sempat tumbuh keyakinan bahwa kampungku masih seperti dulu. Mungkin yang tersisa hanyalah tutur sapa, sedang yang lainnya entah dimana. Kampungku. Kampung Tarondam. Masih sangat jelas terbayang wajahnya dalam ingatanku. Ketika gema bang senja dikumandangkan, dia memperdengarkan aku dengan lantunan-lantunan ayat-ayat tuhan dari seluruh penjuru. Dengan cahaya lampu teplok berminyak tanah penduduk kampung karunia tuhan itu mampu membaca dengan merdu lagi menghafalkannya. Saban malam, setelah maghrib selesai didirikan. Tapi kini itu tidak kurasakan lagi, tidak terdengar walau satu sebagai pengobat hati. Yang ada hanya kebisingan menuju kemerosotan, keterpurukan.
Lentingan ayat-ayat suci telah berganti dengan dentuman-dentuman televisi dari tiap penjuru mata angin. Di bawah lampu neon sekarang berjejer muda-mudi berpakian rapi dan wangi. Rambut warna-warni ala aktor dan aktris luar negeri. Remaja telah berada di atas motor menunggu sang gadis yang sedang berjalan menujunya. Berpakaian bebe dan make-up menol yang menggoda pada malam yang baru saja melepas senja.
Di bawah cahaya pijar, di belakang warung Pak Umar kini orang-orang tua duduk berjemaah bersama tumpukan. Teko tuak bagaikan tropi yang siap untuk dibagi. Isya saja belum tiba. Inikah kampungku, Kampung Tarondam karunia tuhan yang dulu berjaya dalam keyakinannya.
Kuteteskan air mata bersama isak tangis yang sudah tak mampu lagi menahan duka. Kampungku telah hilang, kampungku telah sirna. Aku hanya bisa menyaksikan puing-puing kehancuran. Dan di hadapanku, serasa telah menderu sesuatu. Sangat dekat. Air yang menggenang itu telah tumbuh dewasa. Kini ia tidak merendam lagi kampungku, hingga aku harus merubah namanya. Kampungku Kampung Karam. Seperti apa yang ada di depan mataku kini.
Sketsa Kontan- Kampung Tarondam Gamas,  Agustus 2011


(*) Cerpen ini merupakan bentuk keprihatinan saya terhadap satu kampung di Pesisir Kabupaten Labuhanbatu, Sumut. 

Gadis Perajut Air Mata


Oleh: Rudiansyah Siregar
(Harian Medan Bisnis)
BGaul Minggu, 03 Jul 2011 10:52 WIB


Aku masih menangis dan akan terus menangis. Bagiku hanya air mata yang bisa memahami dan mengerti tentangku. Tentang perempuan hina yang tiada arti di mata kaum lelaki. Kini tak henti kurajut air mata untuk kujadikan selimutku dalam kesendirian dan kehinaan ini. Biarlah air mata, dan hanya air mata yang akan kujadikan sahabat sejati dalam hidupku yang tiada tentu arah dan tujuan lagi.

Mereka, lelaki hanya tahu kejelekan kaum hawa, tanpa pernah berpikir tentang kebaikan apa yang sudah mereka perbuat. Seperti aku, yang dicampakkan suamiku. Aku disepak dari atas ranjang di malam pengantin.

Aku memang gadis, tetapi tidak gadis. Itu karena ayah dan ibuku memberiku nama Gadis Ayu Dinamita, sehingga orang-orang memanggilku gadis, sekalipun aku bukan lagi seorang gadis.

"Brengsek!" katanya sambil berdiri dan menendangku. Tak hanya sampai di situ, pukulan tangannya yang kekar pun berkali-kali mendarat di tubuhku. Layaknya orang yang kerasukan, ia terus menghantamku tanpa belas kasih.

"Pergi dari sini!"
Sejak itulah aku menjadi gadis penikmat sepi dan perajut air mata. Laki-laki terlalu munafik. Mereka terlalu menganggap dirinya suci. Padahal mereka juga yang telah menyebabkan banyak perempuan menderita.

Kini aku menyandang status janda, namun aku tetaplah gadis, seperti biasanya. Padahal dari awal aku sudah memperingatkan Parlin, mantan suamiku, bahwa ia akan menyesal jika menjadikanku sebagai istrinya. Mulut manisnya tersenyum dengan berkata, "Aku siap menerima kelebihan dan kekuranganmu. Apa pun adanya aku telah siap menjadikanmu pendamping hidupku."

Manis bukan? Itulah lelaki. Padahal aku sendiri tidak tahu apakah ia masih perjaka atau tidak. Bisa saja ia sudah berbuat berkali-kali, tapi siapa yang tahu. Mereka tidak memiliki tanda-tanda, hanya itu saja perbedaannya.

Bukankah setiap manusia memiliki masa lalu yang suram, dan itu semua tentu punya alasan tersendiri. Manusia bukanlah malaikat ataupun nabi yang maksum dari segala perbuatan dosa. Manusia tak ada yang sempurna.

Hanya karena aku gadis yang bukan gadis, apakah sepantasnya lelaki itu mencampakkan dan menghinaku? Di mana sebenarnya hakikat cinta. Apakah pada kemolekan dan keindahan tubuh, atau pada hati yang terpatri. Atau pada gadis. Sejujurnya kukatakan, ini bukan kesalahanku. Lelaki sulit memahami.

Ini berawal waktu ketika aku menyelesaikan pendidikan menengah pertamaku di Kota Medan. Saat itu aku tinggal bersama saudara perempuan tertua ayahku. Kebetulan ia tidak memiliki anak, hingga ia rela membiayai sekolahku bahkan sampai ke perguruan tinggi bila aku mau. Setelah tamat, orangtuaku memintaku untuk kembali ke tanah bertuah Sultan Abdul Rahman Muadzam Syah di Kota Panipahan, Riau. Sebenarnya Uakku (sudara perempuan ayahku), memintaku untuk tetap tinggal bersamanya di tanah Patimpus ini untuk melanjutkan. Akan tetapi, orangtuaku tetap tidak setuju dan memintaku pulang dan bersekolah di tanah melayu, dan itu tercapai.

Sangat banyak kenangan yang kutinggalkan dan yang terlupakan. Di sana dulu, di sudut kota Pattimpus. Pernah aku mengukir berjuta kenangan. Tentang mimpi, bahkan cinta. Di sanalah pertama kalinya hatiku kulabuhkan. Pada seorang pria, mungkin saat ini ia entah di mana, aku tidak pernah lagi tahu kabarnya setengah dasarsa silam. Kurasa hidupnya pasti bahagia. Atau mungkin saja, ia tengah melanjutkan perjuangannya. Sebab terakhir kali kudengar ia merantau melanjutkan pendidikannya. Ia sangat berkarakter, tampan, dan yang paling membuatku bangga adalah dia begitu pintar. Terbukti peringkat satu yang disandangnya selama bersekolah. Selain itu, ia pandai bermain piano. Suaranya juga merdu, kalau saat ini mirip dengan Christian Bautista penyanyayi dari Pilipina itu, bahkan parasnya tidak jauh berbeda. Ia juga terampil dan tangkas dalam bermain bola kaki, bulutangkis, dan renang. Itu terbukti dengan beberapa kali ia mendapat penghargaan dalam berbagai bidang itu. Masih banyak lagi kebanggaanku tentangnya, tetapi takkan cukup jika kuceritakan melalui kisah ini.

Lelaki itu begitu perfect bagiku. Dan saat itu, bukan hanya sekedar cinta monyet, menurutku. Karena aku benar-benar sayang bahkan setia padanya. Hanya mungkin tuhan tidak menakdirkan kami bersama. Andai dulu tuhan bertanya padaku tentang perihal siapa yang akan menjadi suamiku, maka dengan tegas aku akan menjawab, "Adrian Maulana," karena memang dia lelaki yang paling aku sayang, begitu juga sebaliknya saat itu. Kurasa, tak mungkin lagi ia mau kembali mengulang cerita seperti dulu, apalagi bila ia tahu tentang diriku yang sekarang. Gadis, bukan gadis lugu yang dikenalnya dahulu.

Masih kukenang perpisahan kami malam itu. Ketika ia menyatakan janji setia bersamaku. Tak peduli seluas apa jarak yang akan terbentang di hadapan kami. Dan aku menyanggupi.
Masa-masa awal sekolah, komunikasi kami masih berjalan baik. Ia masih sering berbagi kabar via telepon, begitu juga aku. Kami mulai renggang komunikasi, saat saudara laki-lakiku memintaku untuk sekolah di Padang. Di sinilah awal-awal kehancuran dalam hidupku. Pihak sekolah lamaku tidak mau memberikan surat pindah padaku. Akhirnya, terpaksa aku harus menunggu selama satu tahun di ranah minang.

Dalam waktu menunggu itu, aku bekerja di sebuah ponsel cabang milik teman abangku. Semua kulakukan berharap kejenuhanku bisa hilang sekaligus menambah pengalaman. Pemiliknya adalah teman sekaligus bos perusahaan tempat abangku bekerja.

Sampai pada suatu malam. Bosku menyuruhku lembur. Kurasa itu hal yang biasa dan sah-sah saja. Akan tetapi, aku sama sekali tidak menyangka tentang muslihat yang ia rencanakan. Ia datang tepat sekitar pukul sepuluh malam. Saat itu sebenarnya pelanggan sudah tidak ada lagi. Namun aku mencoba menuruti, karena aku adalah bawahan dan pekerjanya.
"Sunyi, Dis?" tanyanya setelah keluar dari sedan yang dibawanya.

"Iya, pak. Sejak pukul sembilan tadi."

"O ya, Tanti dan Rika, sudah boleh pulang." katanya sembari tersenyum kepada dua orang rekan kerjaku. Aku menangkap gelagat aneh dalam dirinya. Mengapa cuma mereka yang disuruh pulang, namun kucoba untuk berpikir baik.

"Bagaimana penjualan kita hari ini, Dis?" ia kembali bertanya sambil menatapku tajam.
"Lumayan, pak." jawabku singkat.

"Ya sudah, kamu sudah boleh tutup sekarang." katanya sambil berjalan ke arah dalam.
Tanpa menjawab langsung saja kurapatkan pintu. Sebenarnya aku sedikit ketakutan. Ketika aku mengambil tasku, aku merasa ada yang aneh. Ada tangan yang merangkulku dari arah belakang. Ketika kulihat, Pak Yori berdiri dengan telanjang dada. Kini ketakutanku semakin menjadi-jadi.
"Bapak mau apa?" tanyaku gemetaran.
"Ayolah, Gadis..., tak usah malu-malu. Kemari..." katanya terus mendekatiku.
"Jangan pak, jangan..., istighfar...!"
Ini lebih mengerikan. Ia mengeluarkan sebilah belati. Seraya mengancamku.
"Kalau kau tak mau melayaniku, maka belati ini yang akan tertancap di tubuhmu."
Aku tak dapat berbuat apa-apa. Terlebih-lebih ketika perutnya yang buncit menindih tubuhku di bawah lampu pijar yang tidak bercahaya dan malam yang sudah tidak berpenghuni. Seketika aku merasa sakit yang sangat. Aku tak tahu entah apa yang terjadi. Aku hanya bisa pasrah. Aku menangis di tengah malam yang mulai hening. Pak Youri berdiri dan memberikan pakaianku.
"Saya antar kamu pulang. Pakailah pakaianmu!" suruhnya lembut. Aku hanya membalas dengan anggukan.

Di perjalanan pulang ia berpesan supaya aku tidak bercerita kepada siapapun tentang peristiwa ini. Ya, pasti aku tidak akan bercerita. Abangku bekerja padanya, begitu juga aku. Hidup kami sangat bergantung padanya. Lain lagi ayahku yang sedang sakit. Apa jadinya kalau mereka semua tahu tentang musibah yang menimpaku. Karena itulah selama ini aku menutupi tentang aku si gadis yang bukan gadis.

Tak berapa lama setelah kejadian itu, kuputuskan untuk pulang dengan alasan ayah yang sedang sakit. Abangku memberikan ijin. Namun dia masih berharap aku kembali ke ranah minang ini.
Aku memilih perjalanan Padang-Medan. Berharap aku bisa menemukan sedikit kebahagiaan di sana. Benar, Maul tengah berada di sana. Aku tak tahu apakah ini hanya kebetulan semata atau memang sudah takdir dan ketentuan tuhan, aku tak pernah bisa membedakan dua peristiwa itu. Begitu juga dengan semua yang terjadi dalam hidupku.

Malam itu begitu dingin. Persis saat pertma kali aku dan Maul bertemu di beranda ini. Aku melihat wajahnya sedikit berbeda dari dulu yang kukenal. Tampan. Tutur sapanya juga lebih lembut dan sopan. Aku bahagia, namun juga berduka. Aku merasa takkan pernah mungkin melihat senyum itu lagi. Aku sudah tak suci. Pasti sulit baginya jika aku yang harus jadi pendampingnya, si gadis bukan gadis.

Sejak saat itu kuputuskan meninggalkannya. Ia sangat terpukul. Berulang kali ia memohon padaku, sampai akhirnya ia lelah. Dan akhirnya ia mendapatkan undangan dariku. Sejak saat itu aku tak pernah melihatnya lagi. Ia kirim setangkai mawar putih. Di sana ia tuliskan pesan, "Datanglah jika kau mau. Namun, bila saat ini kau harus jauh, aku akan setia menanti dan menjaga perasaan ini untukmu, dan hanya untukmu. Atau bila kau ingin menemui dan mencari cinta sejatimu, maka pergilah temukan. Tetapi, bila kau tak menemukannya, aku ada di sini, kembalilah!!!"

Aku masih sangat ingat. Hingga ketika kesunyianku datang, ia akan berkata, "Teruslah merajut air mata, tetapi untukku dan untukmu. Sebelum ajal tiba, kau tetap merajut air mata di atas kebahagiaan kita." Sungguh manis dan pilu. (Penulis adalah mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Medan. Saat ini bergiat di Komunitas Tanpa Nama (Kontan).


Minggu, 19 Juni 2011

Kulambaikan Selendangmu pada Cahaya Purnama

(Harian Medan Bisnis, 19 Juni 2011)
Oleh: Rudiansyah Siregar


BGaul Minggu, 19 Jun 2011 10:44 WIB
Sudah setengah dasawarsa aku menunggunya di tengah hingar-bingar kota ini. Terkadang tersabur air mata atas rindu menahun yang menggantung di pelupuk mataku. Atas janji yang telah disepakati serta luka yang selalu kuukir di atas kesetiaannya dulu.
Sudah setengah dasawarsa aku menangis sambil berayun pada pohon mangga yang kami tanam di halaman rumahku - menjelang perantauannya ke tanah Sultan Thaha Syaifuddin. Sembari kuberdoa agar ia cepat kembali untuk memetik mangga ranum, yang kini tengah berbunga dengan lebatnya di pusara angin di pekarangan rumahku.

Setengah dasawarsa aku dan dia dipisahkan oleh jarak dan waktu. Selama itu pula terus kumemuja namanya di bawah purnama. Sambil kulambaikan selendang hijau darinya kearah cahaya purnama yang kian terang seiring dengan suara pungguk sesungguk yang merindukan, supaya ia, perempuan itu melihat tanda-tanda arah jalan untuk pulang dan melihat keberadaanku di sudut kota Patimpus ini.

Aku duduk termenung mendengar gemericik air, dan kau termenung di  tepian Sungai Batanghari. Aku terpukau menatap keindahan ornamen Istana Maimun, sedang kau masih terpana dan menatap dalam pada pahatan indah Candi Muarata cerita tentang kita, tentang rindu serta hasrat yang lama bersemayam di jiwa.

Demikianlah curahan hati yang kutulis dua hari yang lalu. Kemudian kata-kata itu kukirim lewat pesan singkat kepadanya. Setelah sekian lama aku mencari, baru kini kutemukan kabar keberadaannya dari teman SMP, teman akrabnya dulu. Bertahun aku menanti kepulangannya, namun tak jua urung tiba. Dia kekasihku. Aku memanggilnya Yumi, sama seperti panggilan ayah - ibunya padanya.

Dulu, lima tahun yang lalu telah terpahat kenangan di kota ini. Tentang dua anak manusia yang mengukir cinta lewat hati. Tanpa ada seluncur kata pun yang terucap dari balik bilabilal mereka. Hingga akhirnya mereka berpisah sebelum menuntaskan sepenuhnya hasrat dan isi hati yang telah berkapang dalam keraguan.

Jujur, sebenarnya aku sangat menyayanginya. Aku ingin mendekap erat tubuhnya. Tetapi aku masih terlalu muda, aku tak memiliki keberanian untuk mengungkapkan semuanya. Walau akhirnya aku berani, dan itu semua karena desakan keadaan. Ya, Yumi harus pindah ikut orang tuanya. Jauh. Kemungkinan besar tidak akan pernah kembali ke kota ini, kota tempatku menyemai rindu yang tak kunjung kutuai, menurutku.

***
"Yumi, sebenarnya aku suka sama Yumi." kuberanikan diri walau dengan iringan degup jantung yang bagaikan langkah kuda di medan perang.

Seketika aku merasa gelap karena rasa takutku. Ditambah lagi kediamannya yang membuat jantungku semakin enggan berhenti di tengah malam yang hening. Apalagi ketika aku melihat air mata telah memenuhi pipinya yang lembut. Aku seakan bisu. Bukan aku takut atau malu menghadapi wanita, sama sekali bukan. Ini hanya padanya saja. Entah kenapa, setiap melihatnya jantungku berdetak cepat. Jika akan berselisih di beranda sekolah, pasti aku selalu menghindar terlebih dahulu atau mencari jalan lain.

Tiba-tiba saja ia mendekapku. Erat. Bahkan sangat erat. Aku masih tak bisa menerka apa sebenarnya yang ada dalam benaknya.

"Mengapa kau baru katakan sekarang? Aku kecewa." desahnya sambil menangis di pelukanku.
Aku tak dapat menjawab sepatah kata pun. Aku juga menyesal. Tanpa kusadari aku telah menyianyiakan orang yang menyayangiku. Dan aku juga menyakitinya atas rasa ini. Malam itu, tepatnya di bangku parkiran sekolah, ada air mata kecewa yang terselubung dalam bahagia. Ada rasa yang tak lama lagi kan teraniaya.

***
Ini entah purnama keberapa sudah. Aku berdiri bermandikan sinar rembulan. Aku masih  terus memuja namanya di bawah purnama. Sambil kulambaikan selendang hijau darinya kearah cahaya purnama yang kian terang seiring dengan suara pungguk sesungguk yang merindukan, supaya ia, perempuan itu melihat aura rindu yang terpancar dari balik bulan yang bernaung di atas awan.

Aku masih sangat ingat, perjumpaanku yang berakhir di bawah purnama. Tepat pada bulan sebesar talam di atas ubun-ubun. Kemudian dia menghilang seiring berakhirnya purnama dan tidak pernah datang pada purnama setelahnya. Namun, tetap saja selendang darinya kulambaikan ke arah purnama. Menurut leluhurku, jika ada seseorang yang merantau dan lama tidak kembali, maka sebutlah namanya serta lambaikan barang miliknya yang ada padamu, seperti baju, selendang, atau yang lainnya ke arah cahaya purnama itu, tentunya dengan sedikit doa atau mantra, serta ijin dari Sang Pencipta.

"Dian, aku akan selalu mengingatmu. Sejauh mana pun aku pergi, aku akan tetap ada di sini, di hatimu. Aku ada di purnama itu." katanya sambil menunjuk purnama sempurna di atas kepala.
"Jika nanti kau rindu, datanglah padanya. Dan aku akan kembali saat purnama tiba." tambahnya sambil tersenyum.

Kata-kata itu selalu menjadi petunjuk dalam penantianku. Ketika itu aku spontan gembira, "Benar? Kau mau berjanji?"

Yumi hanya menjawab dengan senyuman. Tak tahu apa arti senyuman itu. Dan kini aku benar-benar menanti purnama itu. Sudah begitu banyak purnama yang lewat begitu saja, tanpa pernah ia tiba walau barang sekejap saja, atau  sekejap dalam mimpi. Namun janji tetaplah janji. Harus ditepati. Yumi adalah orang yang sangat memegang setiap ucapannya. Dan aku percaya itu.

***
Dian, aku akan selalu mengingatmu. Sejauh mana pun aku pergi, aku akan tetap ada di sini, di hatimu. Aku ada di purnama itu. Jika nanti kau rindu, datanglah padanya. Aku akan kembali saat purnama tiba.

Dan kini purnama telah bersarang di antara gumulan awan. Kulambaikan selendang itu seiring purnama yang tertawa riang. Nama perempuanku pun masih kusebut-sebut di bawah cahaya. Aku beradu bersama pungguk yang sesungguk memanggil purnama. Buatku tak ada kata lelah dalam penantian. Jika pungguk beratus-ratus, bahkan beribu-ribu abad merindukan bulan, mengapa aku tak bisa. Dari pungguk aku belajar arti setia, dari pungguk aku belajar tentang arti sebuah penantian, dan dari pungguk juga aku tahu cara mengobati keinduan dan memujanya di bawah purnama.

Banyak yang menawarkan cinta untukku. Tapi semua kutolak. Bukan aku bermaksud munafik atau apapun itu. Bagiku cukup mengenal satu nama dalam hidup ini. Hanya ada satu cinta untuk selamanya. Walau terkadang terbesit dalam otakku untuk mencari pengganti karena ketidakpastian dalam penantian, cepat-cepat kubuang jauh-jauh perasaan itu.
"Tidak, Yumi sangat menyayangiku. Ia pasti setia dengan janji-janjinya."

***
Saat ini aku benar-benar merasa cukup menahan rindu yang menahun menggantung di pelupuk mataku. Aku sudah lelah bertingkah di bawah purnama merindu. Dan hari ini akan kukubur semua kenangan ini sedalam rasa sayangku. Kutimbun setinggi kesetiaanku di bawah cahaya purnama. Dan akan kusirami dengan air mata rindu yang selalu mengalir di setiap malam dalam kesendirianku ketika mengenangmu. Kurasa purnama itu pasti maklum. Ia pasti mengerti dan memahami diriku yang telah lelah. Ia sendiri, telah lelah menatapku.

Malam ini tak ada purnama. Tapi sang dewi malam terlihat semangat menyinari jagat raya. Bintang-bintang yang bertabur memberikan sedikit keramaian di hatiku. Sambil kutatap ke angkasa. Indah. Mengagumkan sekaligus mahakarya ciptaan sang pencipta. Andai saja Yumi ada di sini, menatap semua ini, mungkin lebih indah lagi rasanya.

Malam ini tak ada purnama berarti aku harus menunggu lama untuk kedatangan purnama selanjutnya. Hanya kedatangan purnama, karena ia pasti takkan dating jua. Ia hanya bayang-bayang, tetapi bukan baying-bayang masa lalu. Ia hanya bayang-bayang di bawah purnama merindu. Kurasa seribu tahun kan tetap sama purnama yang kan tiba, tapi belum tentu dengannya. Pasti berbeda. Karena perempuan itu, termakan usia purnama.

***
Ternyata aku masih sampai pada purnama hari ini. Kali ini aku tak mau melewatkan sedikit pun tentang purnama. firasatku mengatakan, ia akan datang tepat ketika purnama rindang di ujung malam.

Masih kupuja namanya. Kulambaikan selendangnya. Aku masih berjaga walau ini malam sudah larut dan memasuki alam mimpi. Seketika aku terpana. Kutatap dalam penuh yakin. Dalam malam yang terang, terlihat bayangan di bawah cahaya rembulan. Perempuan itu tersenyum dengan penuh kepastian. Lalu kudekati dengan penuh yakin. Kubalutkan selendang yang kulambaikan karena dingin perlahan merasuk pada sendi-sendi tulang. Aku menangis haru atas rindu menahun yang lama menggantung di pelupuk mataku. lalu kuberkata, "Aku rindu dan telah lelah menunggu," dan perlahan purnama kulambai dengan selendang di tangan.
Sketsa Kontan - Medan, Juni 2011
renungan di bawah purnama

Jumat, 27 Mei 2011

Perempuan Penanti Di Musim Penghujan

Oleh : Rudiansyah Siregar
(Waspada, 5 Desember 2010)

Hujan mengguyur bumi yang gersang. Pepohonan menari riang ditiup angin dan tamparan hujan. Air pun meresap melewati pori-pori tanah yang telah kopong karena lama sudah kemarau bertapa. Musim ini merupakan musim yang dinanti-nantikan banyak orang, tidak terkecuali Mira.

“Musim hujan nanti abang pasti pulang, abang berharap Dek Mira sabar menunggu. Di sana nanti abang kan temui ayahmu. Abang akan katakan padanya untuk melamarmu.” Tiba-tiba wanita itu teringat lirik sendu yang pernah dilantunkan seorang lelaki padanya tiga bulan lalu. Ia tersentak dari lamunannya, lalu ditutupnya jendela tempatnya memandangi hujan sedari tadi. Ia berlari dan berteriak
“Mak…, mamak…. Bang Reihan sebentar lagi pulang…,” ia pun memeluk ibunya sangat erat.
“Apa-apaan nya kau ini bujing (sebutan untuk anak perempuan batak ), tak bisa aku bernapas kau buat.” Ia tak menghiraukan ibunya, ia terus mengguncang-guncang tubuh wanita tua itu.

Tiba-tiba Mira terdiam, kegirangannya hilang seperti ditelan bumi. Ia tak berkutik sedikit pun. Kembali di hampirinya jendela tempat bermenungnya itu dan dibukanya lagi.
“Ha, mengapa pula kau sudah? Tadi gembiranya kau ku tengok.”
“Iya mak.”
“Jadi?”, saut ibunya dengan heran.
“Apa mamak tak ingat kalau ayah tak pernah suka dengan bang Reihan?” Ibunya hanya mengangguk-angguk pelan.

Saban hari perempuan itu pergi ke pelabuhan. Tetapi yang dinanti tak kunjung jua datang. Sudah seminggu ini ia setia menunggu kapal-kapal yang singgah, berharap si Dia kan datang membawa cinta, namun entah dimana cintanya itu tertambat hingga sekarang tak kunjung tiba.

Hari ini akhir pekan kedua, perempuan itu tetap semangat pergi ke pelabuhan. Seperti hari-hari sebelumnya ia yakin bahwa sang kekasih akan kembali hari itu. Ia berdiri sambil menatap jauh ke laut lepas. Sudah berpuluh-puluh kapal yang singgah hingga sore ini, tetapi tidak ada sosok Bang Reihan yang ia temukan.
 Menjelang senja terdengar kabar  bahwa sebuah kapal yang mengangkut sekitar 300 orang penumpang tenggelam di Tanjung Siapi-api sore ini. Informasi yang berkembang, hanya sepuluh orang penumpang yang selamat. Saat ini sedang dilakukan proses evakuasi di tempat kejadian. Seluruh korban akan di bawa ke tempat ini besok.

Pikiran Mira sangat kacau. Ia merasa ada pertanda buruk. Betapa tidak, semenjak pergi bang Reihan tiada kabar sampai sekarang. Nomor handphone tiada aktif, dan tiada teman-temannya yang tau tentang kabarnya. Sekarang sudah saatnya pulang, kekasih hatinya itu tak sampai-sampai juga.

Malam sangat dingin. Hujan menghantam atap rumahnya. Suara pepohonan riuh mengaum karena tiupan angin yang sangat kuat. Wanita itu duduk di dekat jendela kamarnya sambil melihat-lihat bunga yang basah disiram hujan. Tiba-tiba ia tersentak ketika telepon genggamnya berdering. Ia hampiri tempat persegi kecil itu dengan perasaan cemas. Perlahan diangkatnya,
“Halo, Assalamualaikum…”
Waalaikum salam…” terdengar suara gemetar dari dalam kotak kecil itu. Mira sangat mengenal suara itu. Airmatanya langsung memancar.
“ Bang Reihan…”, terka Mira.
“Iya dek…” suara lelaki itu parau.
“Kapan abang pulang, Mira rindu dengan abang. Abang tega tinggalin Mira tanpa kabar,” sambil menangis terisak.
“Maafkan abang Mir, abang tidak bermaksud begitu. Semua itu sudah ketetapanNya. Abang janji akan menepati janji-janji abang padamu. Abang pulang dan menemui ayahmu tuk mengatakan abang ingin melamarmu. Walau pun abang tau itu tak mungkin lagi, abang sudah pasrahkan padaNya.
“Janganlah berkata begitu, abang usaha lah dulu. Abang sedang dimana?”
“Dalam perjalanan pulang, besok pagi sudah sampai.” Suara itu pun raib begitu saja bersamaan suara petir yang menyambar dan handphone Mira terlepas dan jatuh berserakan di lantai.

Ia tak memperdulikan itu lagi. Ia tutup jendela kamar, dan lansung berbaring diatas kasur sambil menghayalkan saat-saat indah yang akan dirasakannya besok. Saat dimana ia akan melayarkan kerinduan dalam bantera pertemuan. Akan memeluk sang kekasih erat-erat di pelabuhan, tak perduli banyak orang yang memandang. Aduhai…

Pagi itu Mira bangun cepat sekali. setelah shalat shubuh ia langsung membereskan pekerjaan di rumah. Menyiapkan sarapan untuk ibu dan ayahnya. Tanpa pamit ia langsung bergerak menuju pelabuhan. Hari masih belum begitu terang perempuan itu sudah tiba di pelabuhan. Tetapi sayang, dia bukan orang pertama yang tiba di tempat itu, mungkin orang yang terakhir. Ribuan jiwa telah menyesaki pelabuhan di pagi yang dini itu. Kerumunan masa memanggil hatinya ikut menghampiri. Isak tangis pun menyambut kedatangan sang surya. Perempuan itu memandangi mayat-mayat yang telah tersusun rapi satu demi satu. Tiba-tiba, ia terhenti ketika menatap seonggok raga yang sudah tak terkenali lagi. Jasad lelaki yang mirip sekali dengan sang kekasih. Ia tepis pikiran itu karena ia ingat tadi malam ia masih di telepon sang kekasih.

Mira masih setia menanti di pelabuhan. Seperti biasanya ia tak jua menemukan yang dinantinya dari sekian banyak kapal yang singgah. Hari sudah mulai gelap, ia pulang di tengah gerimis dengan perasaan kecewa. Tetapi keyakinan akan bertemu masih kuat didalam batinnya. Ia yakin, Reihan pasti akan pulang.

Setibanya di rumah murungnya hilang. Ibunya menyampaikan bahwa tadi Reihan datang menemui ayah dan menyatakan melamarnya.
“Lho, Mira tidak lihat.”
“Pelabuhan itu kan luas, mungkin kau tak melihatnya.”
“Ayahmu masih saja menolaknya dan mengatakan takut kalau kau nanti akan diterlantarkan. Seperti biasa, Reihan di usir ayahmu.

Mira tak perduli ayahnya menerima Reihan atau tidak, yang ia tahu hanyalah Reihan telah pulang dan menepati janji-janjinya. Perempuan itu langsung masuk kekamarnya. Ia tak sabar ingin bercerita kepada gerimis yang telah menjadi hujan deras. Dalam lamunannya ia terkejut ketika suara lelaki menyapanya di depan jendela.
“Mira..”, suara parau itu terdengar lagi. Kali ini Mira berhadapan langsung dengan pemiliknya.
Ia melihat Reihan berdiri di tengah hujan. Reihan terlihat menggigil kedinginan. Wajahnya pucat disertai bibirnya gemetar dan membiru. Tanpa pikir panjang Mira langsung keluar melompat dari jendela berharap ia dapat memeluk lelaki pujaannya itu. Langkahnya terhenti ketika Reihan berkata “ Jangan Mira! Jangan dekati aku, jangan sentuh aku! Aku sangat menyayangimu. Tetapi kita tak mungkin bersama karena kita berbeda. Aku tak mungkin lagi mencintaimu. Aku bahagia mengenalmu. Ku harap kita bisa bertemu di lain waktu. Aku harus pergi lagi”
 Lelaki itu mundur sambil menangis ditengah hujan. Mira hanya dapat berkata “Jangan pergi bang, jangan tinggalkan Mira lagi.” Lelaki itu tetap pergi dan menghilang di kejauhan.

Siangnya Mira mencari tahu keberadaan Reihan. Ia mengunjungi rumah Reihan di kampung sebelah. Sesampainya disana ia kembali dilanda keheranan. Betapa tidak, suasana duka menyelimuti rumah Reihan. Ia masuk perlahan-lahan ke dalam. Disana ia mendapati ibu Reihan yang menangis. Mira langsung menghampiri dan memeluk ibu Reihan dengan keheranan.
“Ibu, siapa yang meninggal?” tanyanya semakin penasaran sambil menangis.
Ibu Reihan tak dapat menjawab pertanyaan bintang hati anaknya itu. Mira berani kan membuka kain penutup mayat dihadapannya. Ia tersentak, mayat korban mirip Reihan yang dilihatnya semalam di pelabuhan menjadi sumber duka keluarga kekasihnya. Saat itu Mira pingsan. Ya, Reihan salah satu korban tewas dari tragedi kemarin.  Tapi apakah mungkin?

Setelah siuman ia langsung pulang ke rumah dan mencari telepon genggamnya yang sempat jatuh berserakan ketika mendengar suara petir menyambar saat Reihan meneleponnya. Beruntung handphone itu masih dapat menyala. Ia lihat daftar panggilan masuk malam itu, tapi sayang semua daftar panggilan telah kosong.

Esok harinya Mira pun masih setia menunggu kedatangan kekasihnya di pelabuhan itu. Begitulah ia dalam keyakinannya. Ia masih setia menanti Reihan di setiap musim penghujan sampai akhir hayatnya.


                                                                                             Sketsa KONTAN, 26 November 2010

Pada Muharram Kutitiskan Airmata


Oleh: Rudiansyah Siregar
(Harian Waspada, 19 Desember 2010)
BULAN ini merupakan awal tahun buat kami. Bulan pertama tahun Hijriah. Disunnahkan memperbanyak amalan dan puasa. Sudah tiga hari belakangan ini ibuku sibuk membangunkanku di tengah malam untuk makan sahur. Aku tak mau. Puasa wajib saja kulewatkan, apatahlagi puasa sunnah.
Agama bukan lagi kajianku. Aku hanya ingat uang dan menghafal nama-nama pahlawan di setiap lembarnya mulai dari nilai terkecil sampai yang terbesar. Nomor serinya pun kadang tak lekang dari benakku. Warna merah-merah dan biru itu adalah teman hidupku. Bersama mereka aku mendapatkan segala yang ku mau.
“Besok dan hari-hari selanjutnya kamu cuti. Kamu kerja di rumah saja.” Sambil tersenyum remeh bosku meletakkan amplop di hadapanku.
“Terimakasih pak.”
“Terimakasih kepalamu. Kamu saya pecat. Saya tidak butuh karyawan sepertimu. Sekarang kamu bebas dari semua pekerjaan.” Mukanya memerah seketika.
“Kenapa begitu pak? Apa salah saya? Bukannya selama ini saya telah menunjukkan loyalitas saya terhadap perusahaan ini?” Saya kan karyawan berprestasi di sini.”
“Sudahlah. Saya sudah tahu semua permainanmu Rahmat. Keluar dari ruangan saya sekarang!” Dengan geram ku tinggalkan ruangan si brengsek itu. Hatiku dongkol namun  aku tak dapat berbuat apa-apa.
“Ini pasti si Johan yang memberi tahu. Awas kau Johan.” Sambil ku kepal-kepal tanganku saat keluar dari kantor menuju mobilku.
Ku injak pedal gas dalam-dalam sampai mobilku terasa terbang di atas aspal. Gigiku sedari tadi tak lepas-lepas ku rapatkan. Hampir saja aku menabrak truk yang datang dari depanku saat aku menyelip bus kota dalam kecepatan tinggi.
“Mau mati kau setan?” Supir truk itu berteriak kuat.
Aku tak peduli. Kini kecepatan semakin meninggi. Deru mesin seperti menjerit di tengah jalan raya yang panas. Satu demi satu ku lalui kendaraan di depanku. Sepertiga dari waktu biasanya aku telah tiba di rumah. Ku parkir mobil di halaman dan langsung aku masuk ke rumah tanpa permisi. Cepat-cepat aku berjalan menuju kamar. Tiba-tiba ibu datang dari dapur dan melihatku.
kok Cepat pulang Mat?”
“Iya buk.” Langsung ku masuk kedalam kamar dan mengunci pintunya.
Ibu keheranan. Pasti saat ini ia sedang menduga-duga apa yang terjadi padaku.
“Brengsek..., AKH...” Ku lemparkan gelas yang berada di dekatku ke dinding. Pecahannya berserakan di lantai. Ibu yang mendengar semua itu langsung mengetuk-ngetuk pintu kamarku.
“Rahmat..., Rahmat. Buka pintunya!” Berkali-kali perempuan tua itu memanggil-manggil, namun tak ku hiraukan sedikitpun sampai akhirnya aku tertidur di atas lantai.
Pukul sembilan malam aku terbangun karena perutku terasa lapar. Ku keluar dari kamar mencari ibu. Pintu kamarnya yang tidak terkunci ku dorong pelan-pelan. Telekung putih masih menyelimuti tubuhnya di atas sajadah. Lantunan ayat-ayat tuhan masih berkumandang menyeruak seisi rumah. Aku sudah sangat lapar, namun ibu masih saja berdiam di sana.
“Bu.” Ibu tak mendengar suaraku.
“Ibu.” Suaraku keras. Akhirnya ibu berhenti mengaji dan menanggalkan mukenanya kemudian meletakkan Al-Quran di atas tempat tidurnya.
Ibu sudah mengerti maksudku. Di meja makan ia menanyai aku. Namun aku tetap tak mau menceritakan problema yang sedang ku hadapi. Ibu terus memaksa.
“Bu, jangan mencampuri urusanku. Urus saja urusan ibu sendiri.” Aku langsung pergi meninggalkan ibu menuju kamar.”
Terlihat guratan kekecewaan di wajah ibu. Dua tetes airmatanya langsung terjatuh setelah perkataanku. Namun tak pernah aku menghiraukan hal itu. Dari dulu pun tak jarang ia seperti itu karena ulahku. Apalagi setelah ayahku meninggal dalam kecelakaan pesawat 10 tahun lalu.
Usiaku sudah menginjak angka 30. Aku belum mau berkeluarga. Aku tau ini di haramkan agama. Bagiku hukum menikah itu sudah wajib. Usiaku sudah lebih dari cukup untuk berumah tangga dan aku telah sanggup menafkahi keluarga. Hal-hal yang di khawatirkan agama itu pun sudah menjadi rutinitasku. Aku mengetahui agama secara mendalam, hanya saja aku merasa belum waktunya untuk itu.
Malam ini terasa dingin. Tidur pun terasa sangat nikmat. Masalah-masalah yang melandaku hilang di telan malam yang semakin terlelap. Belum puas ku rasa menikmati malam, tiba-tiba saja ibu membangunkanku untuk makan sahur sekaligus shalat shubuh.
“Bu, berapa kali aku harus bilang. Urus saja urusan ibu. Sahur, puasa, shalat, persetan dengan itu semua.” Airmata ibu mengucur deras di tengah malam hening. Ia keluar dari kamarku sambil menghapus airmata dengan jari-jarinya.
Aku kasihan pada ibu. Aku sangat menyayangi ibu. Dia telah banyak berkorban untukku. Sejak ayah meninggal ia telah merangkap dua posisi itu untukku. Terkadang aku tak bisa menahan amarahku  hingga memecahkan kapsul airmatanya.
Pagi-pagi sekali aku pergi dari rumah. Aku tak mau ibu menjadi korban dari masalah yang ku hadapi. Ku tinggalkan sepucuk surat permohonan maafku di depan pintu kamar ibu.
Seharian aku melanglangbuana di jalanan. Langit petang yang tadinya merah saga kini telah hilang di telan kegelapan malam. Ku bergerak menuju tempat hiburan malam yang biasa ku kunjungi. Bartender sedari tadi masih setia melayaniku. Ini minuman entah gelas keberapa yang ku tegup. Di sana ku lihat Johan sedang asyik bersama para wanita-wanita cantik. Kiri-kanan dua wanita setia menyulangkan minuman untuknya.
Dia adalah orang yang membuat hidupku menderita, karena ulahnya juga aku jadi durhaka terhadap ibu kandungku. Saat bartender itu merunduk mengambilkan minuman untukku, aku pergi secepatnya sambil membawa sebuah botol kosong. Ku pecahkan botol itu hingga membentuk seperti obor patung liberty. Dengan sedikit sempoyongan, ku bejalan mendekati Johan. Ku sembunyikan pecahan kaca itu di balik jaketku. Aku berdiri di hadapannya. Dia kaget dan langsung berdiri. Tak sempat ia berbicara, pecahan botol yang tajam berkilat itu telah tertanam di perutnya yang buncit. Darah merah memuncrat deras dan bercucuran di lantai. Wanita-wanitanya menjerit histeris. Aku lari secepatnya keluar. Karena menghindari kejaran petugas keamanan dan orang-orang, aku lari sekencang mungkin. Dengan pemandangan yang berkunang-kunang ku coba menyeberangi jalan raya dengan berlari. Sebuah mobil sedan  langsung menghantam tubuhku. Aku terlempar entah dimana.
Aku di bawa ke rumah sakit. Kondisiku kritis. Ibuku menangis dan terus-menerus membisikkan kalimat “Lailaahaillallaah” di dekat telingaku.
Di sampingnya aku sedang sakaratulmaut. Tetapi aku tak bisa melafalkan kalimat singkat yang telah berulang-ulang ia alunkan. Bibirku terasa kelu. Lalu aku katakan padanya “Ibu, aku melihat ayah.”

 Sketsa KONTAN, 14 Desember 2010